HARIAN MERAPI - Hidup berkeseimbangan. Firman Allah SWT: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang tengah, agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” (QS. Al-Baqarah; 2:143).
Dalam menafsirkan ayat ini, Buya Hamka menjelaskan bahwa umat Islam adalah umat yang menempuh jalan tengah, menerima hidup dalam keadaannya. Percaya kepada akhirat, lalu beramal di dalam dunia ini.
Mencari kekayaan untuk membela keadilan, mementingkan kesehatan ruhani dan jasmani karena kesehatan yang lain bertalian dengan yang lain. Mementingkan kecerdasan pikiran, tapi dengan menguatkan ibadah untuk menghaluskan perasaan.
Baca Juga: SD Muhammadiyah Sapen siap hadapi ASPD 2025 dengan semangat dan optimisme
Umat Islam menjadi umat yang pertengahan dan mampu menjadi saksi bagi umat-umat yang
lainnya, karena mempunyai beberapa kelebihan, di antaranya:
Pertama : seimbang antara ilmu dan amal. Tidak boleh hanya menekankan pada ilmu saja,
tanpa diimbangi dengan amal perbuatan yang nyata dalam kehidupan ini, sebagaimana firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.“ (QS. Ash-Shaf; 61:2-3).
Mengatakan sesuatu yang tidak dikerjakan, artinya seseorang hanya berkutat pada teori belaka dan berjalan di atas konsep yang kosong tanpa amaliah.
Kedua, seimbang antara rasa takut (khauf) dan harapan (raja’). Seorang muslim di dalam
hidupnya tidak boleh selalu diliputi rasa takut terhadap dosa-dosa yang selama ini dikerjakannya
secara berlebihan, sehingga menimbulkan rasa putus asa terhadap rahmat dan ampunan dari Allah swt.
Sebaliknya pula, dia juga tidak boleh berlebihan di dalam mengharap rahmat dan ampunan Allah sehingga meremahkan dosa-dosa yang selama ini dia kerjakan, bahkan menganggap enteng dosa besar dengan dalih bahwa Allah Maha Pengampun.
Seorang muslim yang baik adalah yang menggabungkan antara kedua hal di atas, yaitu menggabungkan antara rasa takut terhadap siksaan Allah karena dosa-dosanya dan dalam waktu yang sama, dia sangat mengharap rahmat dan ampunan dari-Nya.
Ketiga, seimbang di dalam menjalankan ajaran agama, sehingga tidak bersikap berlebihan
(ifrath) dan juga tidak bersikap meremehkan (Tafrith).
Seorang muslim di dalam hidupnya tidak boleh terlalu berlebih-lebihan dalam menjalankan ajaran Islam, yaitu melampaui batas dari apa yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Begitu juga seorang muslim tidak boleh – umpamanya-melakukan puasa ngebleng ( puasa tiap hari ) tanpa berbuka sedikitpun, atau membujang selamanya, tidak mau menikah dengan seorang perempuan dengan dalih bahwa menikah itu akan melalaikan ibadahnya.