SUDAH banyak kasus ledakan petasan atau mercon yang menyebabkan korban terluka, bahkan meninggal. Namun, tetap saja ada orang yang memproduksi petasan, baik dengan cara kulakan atau membuat sendiri. Seperti dilakukan dua pelajar SMK ini, mereka ingin belajar bisnis menjual mercon karena dianggap keuntungannya menggiurkan.
Keduanya adalah NAN (19) dan RNA (18), warga Godean Sleman. Mereka sebenarnya tergolong pelajar yang kreatif karena ingin bisnis yang mendatangkan uang banyak. Sayangnya caranya keliru dan mengundang bahaya. Entahlah, mengapa mereka memilih bisnis petasan. Mereka pun mahir meracik bahan peledak itu menjadi mercon. Awalnya untuk kepentingan sendiri, namun kemudian dijual melalui orang terdekat.
Hanya bermodalkan uang Rp 200 ribu untuk beli bahan petasan seberat 1 kg, mereka bisa menjualnya berkali lipat setelah obat mercon itu diracik dan siap edar.
Baca Juga: Legenda Bayern Muenchen Schweinsteiger Semangati Pemain Muda Indonesia
Namun, aksi mereka terhenti setelah ada warga yang curiga dan lapor polisi. Hingga kemudian, ketika mereka sedang bertransaksi di depan SMAN 1 Sewon Bantul langsung disergap petugas. NAN dan RNA pun tak berkutik dan mengaku terus terang mereka memang memproduksi mercon untuk dijual.
Keduanya dijerat UU Darurat No 12 Tahun 1951 dengan ancaman pidana penjara hingga maksimal dua puluh tahun penjara. Namun tentu hakim punya pertimbangan tertentu sebelum menjatuhkan putusan.
Boleh jadi kedua pelajar itu tidak mengetahui betapa berat ancaman hukuman yang bakal dituduhkan kepada mereka. Meski berstatus pelajar, tapi melihat usianya, mereka dikategorikan sebagai orang dewasa, sehingga tidak diberlakukan peraturan khusus anak.
Baca Juga: Pencari kerja bidang industri serbu Sukoharjo, banyak yang berasal korban PHK
Hal yang menarik, mereka belajar meracik bahan peledak menjadi mercon dari Youtube. Dari sinilah mereka belajar segala sesuatunya, mulai dari meracik hingga menjadi barang jadi dan siap edar. Komunikasi dengan penjual bahan peledak juga hanya dilakukan secara online. Alhasil, mereka merasa sukses menjalani bisnis bahan peledak atau mercon.
Itulah bahayanya media sosial, yang tidak mampu menyaring mana konten yang berbahaya dan tidak berbahaya. Semua informasi sangat liar, sehingga hanya pengguna medsoslah yang bisa menentukan mana informasi yang perlu dan tidak perlu. Semua ada risikonya.
Ketika memilih menggunkan informasi yang berbahaya, seperti pada kasus di atas, maka bakal berbuntut tuntutan hukum. Kedua pelajar itu pun hanya bisa menyesal karena telanjur terlibat kejahatan memproduksi mercon. (Hudono)