dan (3) teknik pengelolaan konflik: menggunakan teknik pengelolaan konflik seperti negosiasi atau mediasi untuk menyelesaikan konflik.
Kelima, memahami manfaat mengendalikan amarah: (1) mengurangi stres: mengurangi
tingkat stres dan kecemasan, (2) meningkatkan hubungan sosial: meningkatkan hubungan dengan orang lain melalui komunikasi yang efektif, dan (3) meningkatkan kualitas hidup: meningkatkan kualitas hidup melalui pengelolaan emosi yang efektif.
Keenam, mengatasi timbunan amarah. Ini bisa berarti menghadapi dan berbagi kepedihan dan
penderitaan di masa kecil, termasuk yang baru dirasakan (kompleks terdesak), yang diakibatkan oleh orang lain.
Ketujuh, belajar mengekspresikan perasaan tanpa memendam atau melampiaskan. Artinya
kita perlu mengungkapkan apa yang perlu disampaikan secara jelas, yakin, baik dan positif, tanpa menuduh, mengungkapkan dengan kata “aku”, bukan dengan “kau”.
Kedelapan, carilah penyaluran bagi energi marah. Menyalurkan energi untuk melakukan sesuatu yang produktif di lingkungan kerja, rumah, lapangan olahraga, atau suatu ruangan.
Lepas kendali itu tidaklah baik; hal tersebut tidak “keren” melainkan memalukan. Ketika
seseorang dapat menerima kenyataan bahwa dirinya mempunyai pilihan untuk tetap dapat terkendali dan dapat menemukan cara aman untuk mengekspresikan kemarahan yang terpendam, maka seseorang dapat tetap terlihat “keren” seperti yang diidam-idamkannya.
Amarah memang merupakan bagian dari diri kita, tetapi tragisnya, seringkali konsekuensi dari amarah yang tak tertangani dengan baik itu jauh lebih serius daripada penyebabnya. *
Penulis : Dr. H. Khamim Zarkasih Putro, M. Si.,
Dosen Program Magister dan Doktor FITK UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
Ketua Dewan Pendidikan Kota Yogyakarta,
Dewan Penasehat Paguyuban Keluarga Sakinah Teladan (KST) Provinsi DIY,
Ketua Dewan Penasehat KAHMI Majlis Wilayah DIY,
Ketua Dewan Penasihat ICMI Orsat Kota Yogyakarta