Kelima, kikir (al-bukhlu). Menurut KBBI, kata kikir mempunyai arti terlampau hemat
memakai harta bendanya; pelit; lokek. Sifat kikir dalam istilah syar'i disebut dengan bakhil yang
artinya adalah sifat seseorang yang enggan untuk mengeluarkan sebagian hartanya di jalan Allah. Ia sibuk mengumpulkan harta kekayaan namun tidak mau menyedekahkan sebagian harta tersebut kepada orang lain yang membutuhkan.
Firman Allah SWT: “Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar. Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa.” (QS Al-Lail; 92:8-11).
Keenam, takut (al-jubnu). Takut berarti tidak berani menghadapi kenyataan atau
dimaksudkan pengecut, seseorang yang tidak siap memenuhi tanggung jawab. Pengecut berarti hilangnya keberanian untuk tampil karena menghindari tanggung jawab atau konsekwensi yang harus ditanggung.
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah Muhammad SAW bersabda, “Sesungguhnya sifat terburuk yang dimiliki manusia adalah sifat tamak yang disertai rasa takut dan sifat pengecut yang tidak menentu.” Yaitu sifat tamak yang menyebabkan kegelisahan dan sifat pengecut yang menyebabkan hati kehilangan tempatnya.
Ketujuh, terlilit hutang (dhal’u al-dain). Hukum membayar utang dalam Islam ialah wajib dan
tidak boleh menunda-nunda untuk melunasinya jika sudah ada rezeki.Berdosa orang yang tidak
berusaha untuk melunasi hutang-hutangnya. Islam menekankan kehati-hatian, tanggung jawab, dan yang terpenting, niat dan upaya untuk membayar utang dengan segera mungkin sehingga tidak memberatkan orang yang memberikan hutang.
Sabda lain Nabi Muhammad SAW: “Siapa yang berhutang lalu berniat tidak melunasinya, ia akan bertemu Allah (pada hari kiamat) dengan status pencuri.” (HR. Ibnu Majah).
Kedelapan, dikuasai orang (qahru ar-rijal). Orang yang berhutang umumnya merasa tertekan
dan jika tidak sanggup membayar, rela melakukan perintah apa saja (qahru ar-rijal) dari orang yang menghutangi asalkan lunas, bahkan rela menjual diri dan kehormatannya, karena ia dalam kendali pihak yang memberikan piutang.
Dalam kondisi yang seperti ini, Islam mengajarkan kepada orang-orang yang memberi hutang untuk memberikan kelapangan seluas-luasnya kepada orang yang punya hutang supaya tidak berkecil hati dan patah semangat. Sabda Nabi Muhammad SAW: “Siapa yang menuntut haknya, sebaiknya menuntut dengan baik, baik pada orang yang ingin menunaikannya atau pada orang yang tidak ingin menunaikannya.” (HR. Ibnu Majah).*
Penulis: Dr. H. Khamim Zarkasih Putro, M. Si.
Ketua Pusat Studi Kebudayaan Indonesia Pengembangan Pendidikan dan Pemberdayaan Masyarakat dan Keagamaan (KIP3MK) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Ketua Dewan Pendidikan Kota Yogyakarta
Ketua KAPASGAMA (Keluarga Alumni Pascasarjana UGM)