HARIAN MERAPI - Kadang saya berfikir adakah hubungan antara kesalehan beragama dan kesalehan sosial? Semestinya ada dan jelas tetapi tampaknya itu sering sebatas angan-angan saja.
Pengalaman hidup, bergaul, berorganisasi menunjukkan orang yang tampaknya religius, taat beribadah, sudah pergi ke Mekah di musim haji, bahkan membangun masjid, tidak menjadi jaminan bahwa dia akan hidup lurus sesuai tuntunan agama. Ilmunya yang tinggi tidak menjamin dia akan beradab.
Bahkan bisa jadi, merasa kaya dan berada membuat dia merendahkan kehidupan ekonomi orang lain. Dia lupa bahwa kekayaan bisa lenyap seketika. Dan ketika nanti nyawanya dicabut, kekayaan sebesar apapun akan dia tinggalkan. Temannya hanya kain kafan dan tanah ukuran 1,5 meter kali 2 meter. Tidak lebih.
Baca Juga: SMA Muhi Yogyakarta Gelar Pentasyarufan Dana Pengembangan Sekolah Muhammadiyah Sebesar Rp80,5 Juta
Saat diantar ke kuburan, hilang semua kemegahan yang dipuja-pujanya. Hilang semua kekuasaan yang dia agung-agungkan untuk merendahkan orang lain. Oleh karena itu ada nasehat, kalau umur sudah lebih 60 tahun, banyaklah bertobat, sebelum terlambat.
Cari lah orang-orang yang pernah Anda sakiti dengan perkataan dan perbuatan, untuk melapangkan jalan. Jangan sampai terantuk-antuk bahkan ditarik ketika amalnya dihitung karena orang yang kita sakiti memohon kepada Allah agar semua pahala dan amal baiknya diberikan kepadanya.
Istilahnya, menjadi orang yang merugi di akhirat kelak. Merasa beramal bergunung-gunung, ternyata kerap menganiaya, memfitnah, dan menjelek-jelekkan orang lain.
Orang yang pernah bersujud di Masjidil Haram, menangis di depan Kabah pastilah faham betapa kita ini hanya secuil di hadapan Allah Yang Maha Agung. Tidak ada apa-apanya. Kemegahan, kekayaan, popularitas, hanya perhiasan saja, yang bisa hilang kapanpun.
Baca Juga: Menyoroti Serbuan Rudal Iran ke Israel yang Bikin AS Marah Besar dan Tekan ‘Sirine’ Balas Dendam
Tidak patut kita merasa hebat, paling benar, dan itu terakumulasi di ibadah haji. Kecuali kalau berhajinya hanya untuk riya. Pamer agar dikagumi orang lain. Pergi tobat pulang kumat.
Jadi saya kerap heran, kok bisa ya, si anu tidak tercermin tindakan dan perilakunya, dengan atribut yang dimilikinya. Ada dua sisi kepribadian yang bertolak belakang. *
Orang saleh biasanya hati-hati dalam melabel seseorang karena kalau salah bisa menjadi fitnah. Fitnah itu menurut Islam, lebih kejam dari pembunuhan.
Orang pasti ingat bahwa kata-kata itu disampaikan di pidato Jenderal AH Nasution tahun 1965 saat melepas pemakaman jenderal dan perwira TNI yang akan dikuburkan di Taman Makam Pahlawan, karena dibantai pemberontak G 30 S PKI yang ingin merebut kekuasaan.
Fitnah itu bagai memakan bangkai saudara sendiri. Luar biasa kejamnya. Profesi wartawan yang dianggap mulia, sudah diajari untuk konfirmasi, cek dan ricek, tabayun, sebelum menuduh seseorang. Menyebut saya koruptor? Kapan pengadilan memvonis saya korupsi? Melabel saya cash back?
Anda tahu aturan tertulis yang ada di PWI? Anda tahu mekanisme check and balances di PWI. Tanyalah soal hasil rapat di PWI yang ada notulennya. Pelajari sebelum memberi label.