Hukum sebagai ilmu, akan bermakna, bila benar dan fungsional. Hukum-hukum sekuler, hukum produk politik, dan hukum jahiliyah, cenderung diadakan dan difungsikan sebagai alat kekuasaan. Orientasinya pada kepentingan pribadi, golongan, kelompok. Boleh jadi, dengan permainan hukum, kebahagiaan diperoleh. Tetapi sifatnya semu. Di balik kebahagiaan semu, menggunung sejumlah kecemasan, kekhawatiran, penderitaan. Takut kejahatannya terungkap. Kelak, di saat yang tepat, pasti, azab pedih menjadi selimut kehidupan manusia-manusia pemilih hukum jahiliah itu.
Baca Juga: Apa target Anies jika nahkodai DKI Jakarta? Ingin kembali bahagiakan warganya
Berikutnya, perihal nutrisi kehidupan. Nutrisi adalah substansi organik yang dibutuhkan manusia agar fungsi organiknya normal, sehingga sistem kehidupannya (pertumbuhan dan kesehatannya) berlangsung lancar, tertib, teratur. Nutrisi dalam wujud fisik berupa gizi. Makanan dan minuman bergizi, akan menopang terwujudnya manusia sehat fisiknya. Lebih luas dari itu, nutrisi dalam wujud spiritual, berupa asupan-asupan rohani. Wujudnya, bisa nasihat, ilmu, seni, iman, dan lain-lain.
Nutrisi fisik dan nutrisi spiritual, dibutuhkan demi terwjudnya manusia sehat lahir-batin. Seiring pertumbuhan dan pertambahan umur, masing-masing generasi, akan mencukupi kebutuhan nutrisi sesuai zamannya. Banyak pilihan. Agar nutrisi bermanfaat, dan bukan mudharat, maka perlu bijak memilih dan mengonsumsinya secara proporsional.
Untuk memperluas wawasan, kami bersama sahabat, mencoba menganalisis perihal hukum sebagai nutrisi kehidupan itu ke dalam ranah sains. Kami teringat pada ajaran Thomas Kuhn (1963). Katanya, sains itu, berubah, semakin maju, apabila ada pergeseran paradigmanya (shifting paradigm). Awalnya, sains itu normal. Apa yang dikatakan benar, ya benar. Apa yang salah, ya salah. Akan tetapi, nilai kebenaran itu sendiri relatif. Mengalami pergerakan, pergeseran, bahkan berbutar-balik. Jadilah, sains normal menjadi sanis abormal. Apa yang salah dinyatakan sebagai benar, ataupun apa yang benar dikatakan salah.
Menurut Khun, kini, di abad modern ini, saatnya sains abnormal itu dikembalikan kepada kenormalannya. Dalam konteks pembicaraan tentang nutrisi kehidupan, saatnya nutrisi spiritual diperbanyak. Hukum pun perlu dimaknakan sebagai nutrisi spiritual itu. Jangan berhenti hanya sebagai alat untuk mempermudah pencarian harta-benda dan perhiasan duniawi. Akan tetapi, jadikanlah hukum sebagai sarana perolehan kebahagiaan sejati, jauh dari penderitaan.
Keterbelahan di antara kita umumnya karena kekeuh dengan sains masing-masing. Semestinya, semua sains dirajut kembali ke dalam unity sains. Wilson (1998) mengingatkan bahwa ilmu pengetahuan yang beraneka-ragam dan terkotak-kotak karena spesialisasi kebablasan, perlu dipersatukan kembali. Caranya, dengan menukikkannya pada akar keilmuannya.
Dalam perspektif religius, akar keilmuan itu pada al-Ilm, Tuhan yang Maha Berilmu. Dengan kata lain, di zaman manapun, kebersatuan dengan al-Ilm itu wajib dimaknakan sebagai kepatuhan pada hukum yang benar, dan upaya menambah nutrisi spiritual, demi kehidupan yang sehat lahir-batin.
Tak terasa diskusi dengan sahabat telah berlangsung berjam-jam. Asyik. Berkesan. Benar suatu ungkapan bahwa hadiah terbaik seorang sahabat adalah nasihat. Kita sepakat, sebagai subjek hukum di usia lanjut, asupan nutrisi spiritual perlu lebih diperbanyak. Waallahu’alam.
*) Guru Besar pada Sekolah Pascasarajana UGM