Baca Juga: Ternyata, pijat urut tak sembuhkan urat yang robek akibat keseleo, ini sebabnya menurut dokter
Kasus-kasus terurai di atas, mengingatkan saya pada dialog seorang mantan mahasiswa dengan Bu Dosen, pada jamuan makan malam. Di sela makan-minum, Bu Dosen bertanya tentang profesi, karier, dan berbagai hal pasca lulus dari kampus. Mantan mahasiswa pun dengan ceria menceritakannya.
Atas ilmu yang diberikan, dia berterima kasih. Dia sudah bekerja di Direktorat Jenderal Besa dan Cukai (DJBC) Kemenkeu. “Selamat ya. Semoga kariermu lancar. Kalau boleh tahu, berapa gajimu? Sudah cukupkah untuk hidup berkeluarga di Jakarta?” tanya Bu Dosen.
Diceritakannya: “Gajinya, sesuai standar pegawai negeri. Kalau sekedar dari gaji, jelas gak cukup Bu. Tetapi, di luar gaji, banyak penghasilan lain. Banyak orang minta tolong untuk urusannya. Dia pasti memberikan amplop. Tiap hari. Jumlahnya bisa jutaan rupiah. Jauh lebih besar dari gaji. Dari sanalah, kebutuhan-kebutuhan hidup dapat saya penuhi.”
Bu Dosen, tiba-tiba berhenti makan. Raut wajahnya tidak ceria lagi. “Boleh saya bertanya Mas? Penghasilanmu banyak. Mobil, rumah, dan kebutuhan lain sudah terbeli. Are you happy?”
Tidak ada jawaban. Dalam kebingungan, mantan mahasiswa itu hanya tersenyum kecut. Suasana ramah dan ceria pun berubah menjadi kagok, canggung, serba-salah. Bu Dosen berusaha menetralkannya, dengan kata-kata bijak. “Sebelum kita berpisah, tolong pertanyaan saya tadi, are you happy, Saudara renungkan. Insya Allah Tuhan membimbingmu”.
Beberapa tahun berselang, kedua insan itu bertemu lagi. Mantan mahasiswa dengan cepat menghampiri, dan meminta waktu untuk bertemu. Bu Dosen mempersilahkannya.
“Maaf Bu, saya sudah keluar dari DJBC Kemenkeu. Keluar karena saya ingin happy. Permintaan Ibu untuk merenungkan pertanyaan ‘are you happy?’, benar-benar membuka tabir fatamorgana, dan mendorongku berbalik arah, kembali di jalan yang benar. Saya sekarang membuka usaha. Mandiri. Penghasilannya kecil. Alhamdulillah cukup untuk hidup. Dan saya very happy, very happy, very happy.” Ibu Dosen pun tersenyum, tertegun, gembira. Dipeluk erat-erat. “Terimakasih atas pertanyaannya. Sungguh. Ibu adalah dosen dan guru sejati”, katanya.
Direfleksikan pada ranah spiritual-religius, happy adalah perasaan senang, gembira, bahagia. Manusia kerap kali menyandarkan kebahagiaannya pada uang, benda-benda, tempat bekerja, kolega, keluarga, ataupun hal-hal duniawi lain. Padahal, itu semua hanya fatamorgana. Hanya semu. Kebahagiaan sejati adanya di kalbu. Hati-nurani yang bening, suci, bersih, dari noda dan dosa.
Kebalikan dari kebahagiaan adalah penderitaan. DJBC Kemenkeu, dan lembaga-lembaga lain terkorup, merupakan sumber penderitaan bangsa. Di situ, kebobrokan birokrasi berkelindan dengan perilaku korup.
Baca Juga: Ini budaya olahraga di Indonesia yang perlu diubah, berikut alasannya
Seorang pegawai DJBC junior, dengan asupan satu pertanyaan ‘are you happy?” bisa tersadarkan ketersesatannya. Segera kembali ke jalan kebenaran. Untuk 3 oknum pejabat di atas, kata bijak macam apa yang perlu disampaikan kepadanya, agar tersadar dan kembali ke jalan lurus?
Bangsa ini akan happy, bila jiwa-raga personalianya, sistemnya, dan aturan hukum pada berbagai lembaga negara itu dibenahi. Langkah pencegahan dilakukan melalui pendidikan moralitas-religius. Kepada semua pegawai dan pejabatnya. Sejak dini dan sepanjang waktu. Langkah penindakan, berupa sikap tegas, berani, tak pandang bulu. Perlu dilakukan terhadap siapa pun terlibat kasus gratifikasi, korupsi, TPPU, dan kejahatan lainnya.
Wallah’alam. Salam Pancasila. Sehat. Bahagia.*