Amat disayangkan bila KPK atau lembaga-lembaga Negara lain (MK, MA, DPR, DPRD), menjadi kepanjangan-tangan atau telah berkolusi dengan kekuasaan, politik, dan oligarkhi. Pada kasus Ketua KPK, dan kasus pelanggaran etik 9 orang hakim MK, terindikasi ada penyalah-gunaan wewenang. Dalam putusan Majelis Kehormatan MK terbukti bahwa putusan MK No.90/2023, sarat konflik kepentingan. Ketua MK, menggelar karpet merah jabatan Calon Wakil Presiden kepada keponakannya. Jabatan dan wewenang telah disalah-gunakan untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan kroninya.
Dalam ranah Negara hukum Pancasila, semua penyelenggara Negara terikat kontrak politik, konktrak sosial, kontrak moral, dan kontrak hukum. Pada kontrak-kontrak itu, ada janji, sumpah, keterikatan, dan tanggungjawab, antara penyelenggara Negara, terhadap rakyat, dan terhadap Tuhan Yang Maha Agung. Tanggung jawabnya dunia-akhirat.
Penyelenggara Negara dalam posisinya sebagai pemimpin, mendapatkan penghargaan, kehormatan, gaji, beserta berbagai fasilitas dari Negara. Pada ranah sosial, politik, hukum, ekonomi, dan lain-lainnya, jabatan itu amat mentereng, prestisius. Bahkan setelah purnatugas pun masih mendapatkan pensiun.
Kemuliaan seorang pemimpin juga diberikan oleh Allah swt. Kapan? Ketika pemimpin itu adil dan amanah. Kelak, surga menjadi rumah abadinya. Syaratnya, hukum-hukum Tuhan (ayat kauniyah dan ayat qauliyah), dijadikan sandaran menunaikan jabatannya. Akan tetapi, sebaliknya. Pada pemimpin dzalim, tidak amanah, tidak adil, pasti dilaknat oleh Allah dan semua makhluk-Nya. Sebaik-baik tempat kembali adalah neraka jahanam.
Baca Juga: Sebanyak 2.248 pinjol ilegal distop OJK sepanjang 2023, berikut rinciannya
Di muka bumi, di negeri ini, ganjaran ataukah hukuman, diberikan sesuai hukum duniawi, perundang-undangan (hukum positif). Etika (moralitas-religius) dipertimbangkan, namun sangat ringan. Kurang proporsional. Akibatnya, ada pemimpin, pejabat publik, atau siapapun, terlibat dalam berbagai bentuk korupsi dan/atau gratifikasi (uang, sembako, fasilitas, masa jabatan, dan lain-lain), dihukum ringan.
Jangan lupa, rakyat yang dirugikan dalam peradilan sesat di dunia, masih terbuka kesempatan mengajukan kasasi. Langsung kepada Tuhan Yang Maha Adil. Pemberatan hukuman kepada pemimpin dzalim, merupakan konsekuensi logis dari kepemimpinan yang tidak adil dan tidak amanah.
Ditukikkan pada kondisi Negara yang tidak baik-baik saja, dipastikan ada keterkaitannya dengan ketiadaan pemimpin adil dan amanah. Mereka terpinggirkan. Tergantikan oleh pemimpin dzalim. Mengapa demikian? Karena rakyat keliru memilihnya. Money politic, serangan fajar, tekanan, dan kecurangan, berkelindan dalam setiap Pemilu. Akankah kekeliruan memilih pemimpin terulang pada Pemilu 2024? Saudaraku. Gunakan hati-nurani dan akal sehat. Jadikanlah, ayat kauniyah dan ayat qauliyah, sebagai peringatan. InsyaAllah, dari pesta demokrasi terlahir pemimpin adil dan amanah. Wallahu’alam.*