Dua orang, kakak-beradik, sungguh beruntung. Orang-tuanya kaya-raya. Sesuai wasiat, ketika orang-tua meninggal, maka seluruh harta-benda dibagi dua. Entah faktor apa, ternyata bagian kakak, jauh lebih besar daripada bagian adik. Karena dirasa ada ketidakadilan, maka sengketa kakak versus adik pun tak terhindarkan.
Demi keadilan, sengketa dibawa ke pengadilan. Melalui proses persidangan, akhirnya vonis hakim dijatuhkan. Inkracht. Vonis pun dieksekusi. Pasca eksekusi, ternyata hubungan antar keduanya semakin retak. Tak ada tegur sapa lagi. Berlanjut ke anak-anaknya. Na’udzubillah.
Kasus konkret di atas merupakan ayat kauniyah. Layak ditampilkan. Agar dibaca, dan dijadikan pembelajaran, bagi siapapun. Orang-tua itu pemimpin keluarga. Mesti berlaku adil pada semua pihak. Hati-hati. Harta-benda, bisa menjadi sumber perpecahan keluarga. Pembagian waris. Sering rumit, unik, dan sensitif. Itulah maka, siapapun - pewaris maupun ahli waris - wajib berhati-hati. Bijaksana. Berwawasan luas terhadap seluk-beluk pewarisan.
Baca Juga: Adu Gagasan Antikorupsi, KPK Undang Capres-Cawapres pada 17 Januari 2024
Kasus di atas sekadar ancangan. Direntang lebih luas, Negara Indonesia kaya-raya. Sumberdaya alam melimpah. Seluruhnya merupakan karunia Tuhan Yang Maha Pemurah. Oleh para nenek-moyang, diwariskan ke generasi penerus. Agar dirawat. Dikelola secara bijak. Demi, keadilan dan kemakmuran seluruh rakyat. Begitulah tersirat dalam UUD 1945.
Sayang, para oknum penyelenggara negara, lalai atas amanah itu. Kebijakan ditetapkan. Regulasi dibuat. Dilaksanakan. Ditegakkan. Sayang, kebijakan dan regulasi tersebut ditengarai cacat moralitas-religius. Sekaligus cacat konstitusional. Nilai-nilai keadilan, ditanggalkan. Cenderung demi keuntungan pribadi, keluarga, dan kelompoknya (nepotisme). Rakyat dikorbankan. Orang-orang, lembaga, dan negara asing, justru diberi privilege. Dalihnya, demi investasi.
Akibatnya, hak-hak rakyat atas sumberdaya alam, mudah dirampas investor. Perampasan itu legal, karena berdasarkan regulasi. Tetapi tidak legitimated, karena rakyat dikorbankan. Wajar, rakyat berontak. Mereka merasa diperlakukan tidak adil. Usaha ditempuh melalui jalur sosial, politik, mediasi, maupun litigasi. Namun, sia-sialah ketika kasusnya dibawa ke pengadilan. Mengapa? Karena pengadilan telah dikooptasi oleh kekuasaan. Sarat permainan hukum. Vonis hakim, menjadi sarat ketidakadilan.
Baca Juga: Status Awas, Gunung Lewotobi Laki-laki Mengalami Peningkatan Energi Erupsi
Kita, sebagai bangsa adalah keluarga besar rakyat Indonesia. Dalam skala kecil atau besar, keutuhan, keharmonisan, dan kemakmuran, terganggu, ketika ada perlakuan tidak adil dari oknum penyelenggara Negara. Rakyat selalu diposisikan sebagai objek penderita. Rakyat menjerit, meronta. Seolah anak ayam lapar. Rentan mati, walaupun hidup di lumbung padi.
Dalam konteks bagi Negara hukum Pancasila, dan demi keadilan sosial bagi seluruh rakyat, maka kehadiran pemimpin adil dan amanah, menjadi keniscayaan. Jabatan Presiden, Wakil Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota, atau Pejabat Negara lainnya, mestinya, diisi oleh orang-orang yang telah teruji dan terbukti, mampu berbuat adil dan amanah terhadap jabatannya. Berbuat demi negaranya.
Apa yang terjadi? Semua jabatan diperebutkan. Demi jabatan, segala cara dihalalkan. Kecurangan dilakukan secara sistemik dan masif. Di media sosial atau media lainnya, setiap detik, kecurangan-kecurangan itu ditayangkan. Sebagian penjahatnya telah tertangkap. Diadili. Dipenjara. Konon, terpidana klas kakap, bisa bebas keluar-masuk penjara. Tidur di hotel mewah. Sebagian penjahat lainnya, masih dalam pengejaran, atau dalam proses hukum. Ada indikasi, beberapa penjahat dibiarkan kabur. Mereka itu, oknum pejabat negara berlatar-belakang politikus. Atau berlabel koruptor klas gajah.
Cermatilah. Sungguh ironis. Seorang Ketua KPK, justru menjadi tersangka kasus korupsi. Aneh bin ajaib, tersangka tak ditahan sebagaimana lazimnya. Wajar, bila publik mempertanyakan perlakuan diskriminatif itu. Tanpa ada transparansi, muncul dugaan, ada kasus-kasus lain sebagai objek tawar-menawar. Antara KPK dan Kepolisian saling menyandera.
Baca Juga: Penyidik Minta Keterangan Ahli Terkait Laporan terhadap Roy Suryo