“Mboten Mas, berhenti di jalur alas D, engken enten sing jemput (tidak Mas, berhenti di jalur hutan D, nanti ada yang jemput),” jawab Nur.
“Yu, desone ra iso diliwati mobil ya?(Yu, desanya tidak bisa dilewati mobil?),” tanya Widya kepada Ayu.
“Rak isok, tapi cedek kok tekan dalan gede, 45 menit palingan (Tidak bisa, tapi dekat kok dari jalan besar, paling 45 menit),” jawab Ayu.
Perjalanan dimulai, mereka naik mobil hingga berhenti di jalur masuk hutan D.
Baca Juga: Halal Bihalal HMI Magelang Raya Diisi Diskusi, Gerakan Politik Kebangsaan dan Prospek Pemilu 2024
Mereka menempuh perjalanan 4-5 jam dari kota S, dan tiba di jalur masuk hutan D saat sudah mulai petang, dan cuaca gerimis.
Mereka menunggu sekitar setengah jam hingga terlihat beberapa sepeda motor dari arah hutan, datang mendekat.
“Cuk, sepedaan tah (Cuk, naik motor ya),” Wahyu mengumpat dan entah sengaja atau tidak, ucapan yang dianggap biasa di kota S itu ditanggapi lain oleh para lelaki bermotor.
Mereka menunjukkan wajah tidak suka dan menatap Wahyu dengan sinis.
Hanya Widya yang memperhatikan semuanya dengan detail. “Apapun itu, semoga bukan hal yang buruk,” batin Widya.
Mereka mulai perjalanan menuju desa KKN, melintasi jalanan berlumpur, pohon di kanan dan kiri, medan naik turun, dan gerimis yang tak kunjung reda.
Sudah hampir satu jam lebih, tapi motor masih berjalan lebih jauh masuk ke dalam hutan.
Anehnya di tengah perjalanan, tak satupun dari pengendara motor itu yang mengajak bicara.
Baca Juga: Polisi Bogor Tangkap Dua Mobil Ambulans yang Membawa Wisatawan Penerobos Jalur Puncak