budaya

Merawat Tradisi Berpikir di Kadipaten Pakualaman dengan Membumikan Filosofi Memayu Hayuning Bawana bagi Kesejahteraan Yogyakarta

Minggu, 19 Mei 2024 | 20:48 WIB
Moderator dan dua pembicara KMT. Ndoyodiprojo, KPH. Kusumoparastho dan Prof. Dr. H. Abdul Mustaqim, MA. (Teguh Priyono )

HARIAN MERAPI - Konsep filosofi Memayu Hayuning Bawana yang dijadikan landasan inti dalam pembangunan Kasultanan Yogyakarta oleh Pangeran Mangkubumi yang setelah naik tahta bergelar Sultan Hamengku Buwono I adalah untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat kasultanan Yogyakarta kala itu.

Konsep ini harus terus dilanjutkan dengan mengurai makna serta tujuan filosofi itu bagi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat Yogyakarta saat ini.

Demikian disampaikan budayawan dan Penghageng Urusan Pambudidaya Kadipaten Pakualaman KPH Kusumoparastho pada dialog budaya Malam Sabtu Kliwon.

Baca Juga: Upacara Ganti Dwaja Pura Pakualaman tampilkan ragam kesenian, jadi wisata alternatif di tengah Kota Yogyakarta

Dialog budaya itu bertajuk Merawat Tradisi Pemikiran Dalam Upaya Membumikan Makna Memayu Hayuning Bawana Bagi Kesekahteraan Masyarakat Kadipaten Pakualaman, Jumat (17/5/2024) malam di Ndalem Kepatihan Kadipaten Pakualaman Yogyakarta.

Menurut Kangjeng Kusumo biasa disapa, Kadipaten Pakualaman merupakan kerajaan Jawa terakhir dan termiskin karena potensi wilayahnya kecil dan merupakan rawa dan berada di sepanjang pantai Selatan Jawa di Kulonprogo.

"Untuk dapat melangsungkan kehidupannya maka harus mengoptimalkan kemampuan berpikir. Sehingga di era PA V kemudian banyak menyekolahkan putra putri dan kerabat untuk belajar ke luar negeri. Hal ini dimaksudkan agar mereka tidak lagi memiliki ketergantungan dengan potensi alam yang miskin," urai Kangjeng Kusumo.

Sementara itu pembicara lain Prof. Dr. H. Abdul Mustaqim, MA Direktur Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga, mengungkapkan konsep Memayu Hayuning Bawana merupakan filosofi yang sejalan dengan Al Qur'an dalam menjadikan bumi sebagai ladang kehidupan untuk kemakmuran hidup manusia.

Baca Juga: Kecelakaan Karambol di Pasar Gamping Sleman, Mobil Pick Up Tabrak Tukang Becak hingga Meninggal

"Membuat cantik kehidupan di bumi sebagai mana menurunkan kehidupan Surga yang damai sejahtera," tuturnya.

Untuk mencapai itu menurut dia dibutuhkan indikator seperti adanya sikap toleransi, seimbang dan setara, memiliki komitmen kebangsaan, anti terhadap kekerasan dan menghargai nilai nilai tradisi dan budaya lokal.

Dialog budaya Malam Sabtu Kliwon yang digelar secara rutin setiap 35 hari atau selapan sekali ini dimoderatori KMT Ndoyodiprojo mantan Kepala BKD DIY. Kegiatan ini dihadiri oleh lintas komunitas dan masyarakat umum.

Baca Juga: Pesawat Jatuh di BSD Jenis Cessna 2006 Milik Indonesia Flying Club Bawa Tiga Orang

Di antaranya Paguyuban Wartawan Sepuh (PWS), Komunitas Satupena, Komunitas Seniman Yogyakarta, Komunitas Selasasastra, Jaringan Masyarakat Budaya Nusantara (JMBN), PSJB Paramarta serta peminat dan pemerhati budaya lainnya.

Halaman:

Tags

Terkini

Panen Sastra Diisi Diskusi dan Bedah Buku Sastra

Rabu, 15 Oktober 2025 | 08:30 WIB