HARIAN MERAPI - Perancang Busana Didi Budiardjo mengatakan pada tahun 1930 sangat marak kebaya encim beraneka ragam. Namun, tidak pernah berwarna putih kecuali sesaat setelah kematian kerabat dekat.
Hal ini lantaran masyarakat Cina asli maupun peranakan memakai warna putih sebagai warna ketiadaan, kematian.
Awalnya kebaya encim dikenal dengan sebutan kebaya nyonya, julukan ini pertama kali dipopulerkan oleh kalangan masyarakat Tionghoa peranakan.
Baca Juga: Batik Pesisiran Pantai Utara Jawa, lebih diutamakan sebagai barang ekonomi yang diperdagangkan
"Istilah kebaya encim digunakan secara umum oleh non-Tionghoa untuk menamakan jenis kebaya yang dipakai oleh perempuan peranakan Tionghoa," katanya dalam bincang Wastra Bercerita yang digelar oleh Perhimpunan Wastraprema, di Museum Tekstil Jakarta, yang dikutip Antara, Sabtu (15/2/2025).
Namun, menurut Didi, sejak tahun 1911 pada runtuhnya kekaisaran Tiongkok, orang Tionghoa mulai meniru gaya berpakaian orang Eropa Belanda.
Saat itu, para noni Belanda tidak mengenakan kebaya para bangsawan yang mewah dari bahan sutera. Namun, memilih bahan katun tipis berpotongan pendek.
"Bermula dari inspirasi kebaya para noni, para nyonya Tionghoa memodifikasi dengan memasukkan potongan, bahan ,warna, border dan aksesoris yang digunakan," tuturnya.
Baca Juga: Inilah Kisah Sukses UMKM Bersama Rumah BUMN Binaan BRI, dari Dapur Rumah ke Etalase Bandara
Adapun pada kegiatan bincang Wastra Bercerita itu juga menyajikan pameran Batik Pesisiran lebih dari 100 helai yang dibuat sekitar tahun 1900 koleksi Museum Tekstil Jakarta sumbangan Ibu Eiko Adnan.
Dilansir laman batikprabuseno.com, berbeda dengan batik keraton Indonesia lainnya, batik pesisir lebih diutamakan sebagai barang ekonomi yang diperdagangkan.
Dalam perkembangannya batik pesisir mulai dikenal luas pada awal abad ke-19, saat para pedagang Indo-Belanda datang.
Menurut sejarahnya, batik pesisir berasal dari kota-kota di pesisir pantai, seperti Cirebon, Indramayu, Semarang, Pekalongan, hingga Madura. Awalnya batik hanya boleh digunakan oleh kalangan keraton saja, namun berkembangnya zaman masyarakat diperbolehkan menggunakan batik dengan motif-motif tertentu.
Baca Juga: Investasi PMA di Salatiga capai Rp 143,18 miliar dan PMDN Rp 259,51 miliar
Pada awal abad ke-19, bisnis tekstil India di Indonesia mengalami kemunduran, yang membuat konsumen beralih ke kain batik. Pengusaha Indo-Belanda mengambil peran dalam usaha pembatikan.