Mengenal kesenian Ronggeng Gunung, ritual orang kampung untuk menghormati Dewi Sri

photo author
- Kamis, 13 Maret 2025 | 21:00 WIB
Pertunjukan kesenian Ronggeng Gunnug. (KEMDIKBUD.GO.ID)
Pertunjukan kesenian Ronggeng Gunnug. (KEMDIKBUD.GO.ID)

HARIAN MERAPI - Mungkin sudah banyak yang mengenal kesenian ronggeng. Namun yang satu ini agak beda, yani Ronggeng Gunung.

Ini adalah sebuah kesenian tari yang tumbuh dan berkembang di wilayah Ciamis Selatan dan Pangandaran, yaitu seperti daerah Panyutran, Ciparakan, Banjarsari, Burujul, Pangandaran dan Cijulang. Secara umum, kesenian ini hampir sama dengan ronggeng pada umumnya.

Ronggeng Gunung menjadi salah satu tarian buhun (kuno) dari daerah Priangan Timur yang disajikan dengan konsep pertunjukan minimalis.

Baca Juga: Kini masuk tahap lelang pembangunan, gedung perpustakaan umum Sukoharjo dan gedung pertemuan tahap II segera dibangun

Ronggeng berasal dari kata renggana (bahasa sansakerta) yang memiliki arti perempuan pujaan hati.

Perempuan pujaan ini adalah penari yang dipilih untuk menyambut tamu bangsawan kerajaan yang selalu diiringi alat musik tradisional.

Sedangkan kata gunung berkaitan dengan daerah perkampungan (pegunungan) sebagai tempat tarian ini berasal dan berkembang.

Pada dasarnya, tarian ini dijadikan sebagai sarana ritual orang kampung untuk menghormati Dewi Sri dan hiburan setelah melepas lelah selesai melakukan satu periode menanam padi.

Baca Juga: Di Tengah Kota Salatiga, Motor Lawan Motor, Satu Pegendara Tewas , begini kronologinya

Tapi, setelah berlakunya sistem perkebunan kolonial Belanda beralih fungsi menjadi sarana hiburan yang harus dilakukan perempuan pribumi kepada tenaga-tenaga ahli kontrak yang didatangkan Belanda.

Tarian ronggeng gunung lahir dari perpaduan kesenian bajidor dan pencak silat. Ronggeng Gunung biasanya dipentaskan dalam waktu 2 sampai 12 jam sekali pertunjukan.

Dalam satu kali penampilan biasanya dibawakan 6 sampai dengan 8 lagu. Secara umum, tema lagu dalam kesenian ini bercerita tentang kerinduan kepada kekasih dan sindiran pada perompak yang telah membunuh Anggalarang.

Awalnya, ronggeng gunung sempat berfungsi sebagai sarana pengantar upacara adat seperti panen raya, penerimaan tamu, perkawinan, dan khitanan yang sangat menarik karena mengeksplorasi unsur erotis dari penari.

Baca Juga: Regional Office BRI Yogyakarta Berbagi Bahagia, Salurkan 1.730 Paket Sembako untuk Warga Terban dan Karangwaru

Tapi, periode tahun 1904 sampai dengan 1945, beberapa nilai dan konsep penyajian ronggeng gunung mengalami perubahan disesuaikan dengan norma dan tatakrama yang berlaku semakin baik pada lingkungan masyarakat.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Swasto Dayanto

Sumber: kemdikbud.go.id

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Panen Sastra Diisi Diskusi dan Bedah Buku Sastra

Rabu, 15 Oktober 2025 | 08:30 WIB
X