HARIAN MERAPI - Netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) atau Pegawai Negeri Sipil dalam Pemilihan Umum (Pemilu) sangatlah penting guna membangun demokrasi yang sehat dan berkualitas di Indonesia. Karenanya, sosialisasi terkait masalah tersebut perlu terus digulirkan di masyarakat.
Berkaitan hal itu, dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (FH UMY) Dr Bagus Sarnawa SH MHum dan Dr Beni Hidayat SH MHum menggelar berbagai kegiatan pengabdian masyarakat, antara lain dengan menyelenggarakan Forum Group Discussion “Model Netralitas Aparatur Sipil Negara dalam Pemilihan Umum”.
"Kegiatan ini bertujuan untuk menghasilkan kajian akademik tentang model netralitas Aparatur Sipil Negara dalam pemilihan umum," jelas Bagus Sarnawa kepada wartawan baru-baru ini.
Bagus Sarnawa menjelaskan kegiatan ini sudah dilaksanakan pada Senin 20 Maret 2023 di Ruang Sidang Lantai 3 Fakultas Hukum Gedung E3 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Kegiatan tesebut dihadiri perwakilan Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, perwakilan Pemerintah Kabupaten Bantul, perwakilan Pemerintah Kabupaten Sleman, perwakilan Pemerintah Kota Yogyakarta, perwakilan Pemerintah Kabupaten Kulonprogo, pemerintah Kabupaten Gunung Kidul, perwakilan Kantor Regional I Badan Kepegawaian Negara serta Ketua Bawaslu Daerah Istimewa Yogyakarta, Ketua Bawaslu Kabupaten Bantul.
Dijelaskan, sejak tahun 1945, Indonesia sudah melaksanakan beberapa kali pemilihan umum, baik pemilihan umum untuk memilih presiden/wakil presiden maupun anggota Dewan Perwakilan Rakyat pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota. Salah satu pembicaraan menarik berkaitan dengan pelaksanaan pemilihan umum adalah netralitas Pegawai Negeri Sipil.
Baca Juga: Raih Penghargaan Polisi Sektor Ramah Anak, Ini Daftar Inovasi yang Dijalankan Polsek Pleret Bantul
Dalam setiap pelaksanaan pemilihan umum, baik pemilihan presiden/wakil presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat maupun pemilihan kepala daerah/wakil kepala daerah, praktik
ketidaknetralan Pegawai Negeri Sipil selalu terjadi. Studi yang dilakukan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama jaringan kerja di empat daerah yaitu Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Yogyakarta, menemukan adanya 54 indikasi pelanggaran ketentuan tentang fasilitas jabatan selama Pemilu 2009. Pelibatan birokrasi terjadi dalam bentuk mobilisasi Pengawai Negeri Sipil.
Dalam upaya menjaga netralitas Aparatur Sipil Negara dari pengaruh partai politik dan untuk menjamin keutuhan, kekompakan, dan persatuan Pegawai Negeri Sipil, serta dapat memusatkan segala perhatian, pikiran, dan tenaga pada tugas yang dibebankan, maka Pegawai Negeri Sipil dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik, dilarang terlibat dalam kegiatan politik, baik kegiatan kampanye, pengerahan masa, menjadi nara sumber maupun berfoto bersama pejabat politik yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara menyatakan bahwa netralitas Pegawai Negeri Sipil adalah bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik. Hubungan birokrasi dengan pejabat politik merupakan sesuatu hubungan yang konstan antara fungsi kontrol dan dominasi serta terdapat dua bentuk alternatif solusi yang utama yakni apakah birokrasi sebagai subordinasi dari politik (executive ascendary) atau birokrasi sejajar dengan politik (bureaucracy sublation).
Baca Juga: Pantau Kesehatan Mental Sivitas Akademika, UGM Kembangkan Platform ChatBot Lintang
Dengan demikian executive acendency merupakan hubungan yang menunjukkan adanya hubungan subordinasi. Dalam praktiknya, netralitas Pegawai Negeri Sipil dalam pemilihan kepala daerah sulit terwujud, hal ini disebabkan intervensi kepala daerah berupa kuatnya ketokohan (personality) yang menanamkan pengaruh kepada pegawai, keinginan pegawai itu sendiri untuk segera mendapatkan jenjang karir yang lebih cepat, lemahnya sosialisasi institusi, maupun multitafsir atau monopoli tafsir terhadap aturan yang ada, hubungan patron-client, serta adanya peran shadow bureaucracy.