DALAM waktu yang tidak terlalu lama, masyarakat bakal menyambut datangnya pesta demokrasi Pemilu 2024. Karena ini pesta rakyat, maka harus disambut dengan riang gembira tanpa ada unsur saling benci maupun fitnah. Inilah yang kemarin diingatkan Presiden Jokowi ketika menghadiri Harlah PKB di Solo.
Presiden meminta agar rakyat menghindari ujaran kebencian dan fitnah-memfitnah serta menyebarkan kabar bohong di media sosial. Apakah ini yang dimaksud dengan Presiden cawe-cawe ? Kalaupun iya, tentu ini dalam konteks positif. Bahwa ujaran kebencian, fitnah memfitnah adalah perbuatan melanggar hukum, sehingga dapat dikenai sanksi.
Presiden lebih menitikberatkan media sosial, karena selama ini media itulah yang banyak digunakan untuk menyerang orang lain, baik dengan cara memfitnah, menyebarkan ujaran kebencian maupun menyebarkan berita hoaks atau menyesatkan. Sayangnya, tidak semua perbuatan tersebut dipidana. Padahal, kita dengan mudah menjumpai setiap hari, dunia maya dipenuhi dengan ujaran kebencian, hoaks dan fitnah.
Baca Juga: KPK Sebut Kepala Basarnas Marsdya Henri Alfiandi Terima Suap Rp88,3 Miliar
Tapi tidak semuanya diproses hukum, bahkan ada yang dibiarkan. Padahal, UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) jelas mengancam pidana terhadap perbuatan tersebut. Apakah penegak hukum pilih kasih atau tebang pilih ? Inilah yang selama ini menjadi pertanyaan masyarakat. Sebab, ketika dua orang atau lebih melakukan perbuatan yang sama (menghujat, menghina dll) tak semuanya dijerat hukum lantaran afiliasi pada kepentingan politik tertentu.
Kesan ini masih sangat kuat di masyarakat. Karena itu, ke depan, aparat penegak hukum harus benar-benar dapat bertindak adil dan transparan. Siapapun yang melanggar hukum harus dikenai sanksi, apapun afiliasi politiknya. Bukankah dalam hukum dikenal prinsip equality before the law atau persamaan kedudukan di dalam hukum ?
Prinsip ini harus ditegakkan secara konsisten dan tak ada lagi tebang pilih atau pilih kasih dalam penegakan hukum. Apa yang diingatkan Presiden Jokowi sangat baik, yang penting implementasinya. Mereka yang melakukan pelanggaran di media sosial, baik itu menyebarkan ujaran kebencian, memfitnah maupun menyebarkan kabar bohong atau hoaks harus dikenai sanksi pidana sesuai UU ITE.
Baca Juga: Kasus Denny Indrayana terus berlanjut, Bareskrim sudah lakukan penyidikan dan periksa enam saksi
Tentu ini harus dibedakan dengan suara kritis yang mengritik pemerintah misalnya. Sebab, Presiden sendiri mengatakan tidak alergi kritik. Kritik tetap diperlukan guna perbaikan. Dan, kritik tentu berbeda dengan menghujat atau memfitnah. (Hudono)