JOGJA, harianmerapi.com - Munculnya kerusuhan di Babarsari Depok Sleman beberapa hari lalu terjadi karena pola pertumbuhan provinsi yang mengarah metropolis.
Demikian analisa yang disampaikan Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Derajad Sulistyo Widhyharto di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM, Yogyakarta, Selasa (5/7).
Ia menilai munculnya kasus kerusuhan seperti di Babarsari, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin (4/7), karena pola pertumbuhan di provinsi ini sudah menyerupai kota metropolis.
Baca Juga: Antisipasi Lonjakan Kasus Covid-19, Pemerientah Gencarkan Vaksinasi Booster
"Wilayah Yogyakarta itu istimewa tetapi regulasinya tidak istimewa. Regulasinya seperti perkembangan kota Jakarta, Surabaya, dan lain-lain. Provinsi ini tidak tumbuh istimewa seperti masyarakatnya, seperti keratonnya, jadi ini tumbuh seperti kota metropolis," kata Derajad .
Sebagai kota pelajar, menurut Derajad, Yogyakarta sebenarnya butuh ketenangan.
Menurut dia, yang perlu diperbanyak adalah fasilitas-fasilitas mahasiswa, seperti penyediaan co-working space, bukan justru fasilitas yang dapat mengundang konflik.
Baca Juga: Pendaftaran Kartu Prakerja Gelombang 35 Dibuka, Ayo Buruan Daftar, Ini Syaratnya
"Akan tetapi, kalau yang tumbuh kemudian adalah karaoke, hotel-hotel, apartemen 'kan tidak ada bedanya dengan Jakarta, Surabaya, dan lain-lain," kata dia.
Regulasi yang ada di Yogyakarta, kata dia, semestinya harus terefleksi dari kondisi masyarakat, misalnya terkait dengan jam belajar di Yogyakarta yang kini tidak berlaku lagi.
Artikel Terkait
Update Kerusuhan Babarsari Senin Siang: 6 Motor Dibakar 8 Ruko Dirusak, Ini Pemicu Ricuh Kata Kapolres Sleman
Kesaksian Warga Lihat Kerusuhan Babarsari: Pelaku 100 Orang, Datang Langsung Bakar Motor
Buntut Kerusuhan Babarsari, Jogja Tidak Aman ?
Buntut Kerusuhan Babarsari, Antisipasi Jangan Terlambat
Fakta Mengejutkan Kerusuhan Babarsari: Polisi Temukan 9 Jerigen Miras Oplosan di TKP, Pemiliknya Misterius