INI masih seputar kerusuhan di kawasan Babarsari Depok Sleman yang melibatkan dua kelompok massa berseteru. Kasus serupa pernah terjadi di kawasan ini.
Mengapa sekarang muncul lagi ? Jogja pun kembali menjadi sorotan nasional dan trending di media sosial. Mengapa pula kerusuhan tidak dapat dicegah ?
Agaknya peristiwa ini menjadi bahan evaluasi bagai jajaran kepolisian. Artinya, mereka seharusnya sudah bisa mengantisipasi agar tidak terjadi kerusuhan.
Dalam peristiwa yang terjadi Senin siang di kawasan Babarsari, ruko dirusak massa dan 7 unit sepeda motor dibakar. Tak hanya itu, sekelompok orang menenteng senjata tajam sembari teriak-teriak mengancam.
Ya, kondisinya seperti dalam adegan film premanisme. Orang bebas membawa senjata tajam dan bebas mengancam siapa saja. Sayangnya, mengapa itu terjadi di Jogja yang selama ini dikenal sebagai kota damai dan penuh toleransi ? Di mana polisi saat itu ?
Sebenarnya, kalau kondisinya memang sudah tak terkendali, polisi bisa meminta bantuan aparat TNI. Kita ingat ketika terjadi aksi demo mahasiswa 1998 di kawasan Gejayan, untuk menghalau mahasiswa, polisi dibantu aparat TNI.
Baca Juga: Pemprov DKI Jakarta Akan Evaluasi Kerja Sama dengan ACT
Namun, saat itu kondisinya tidak separah di kawasan Babarsari yang diwarnai pembakaran 7 sepeda motor dan perusakan ruko.
Saat itu malah jatuh korban seorang mahasiswa Mozes Gatotkaca--yang kini dijadikan nama jalan di kawasan tersebut--akibat dianiaya aparat. Jadi pertanyaan, mengapa mengatasi kerusuhan di Babarsari aparat terkesan tidak tegas dan penuh perhitungan ?
Sampai-sampai Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X angkat bicara meminta agar kepolisian bertindak tegas memproses hukum semua pihak yang membuat kerusuhan.
Baca Juga: Bareskrim, PPATK, Densus 88 dan BNPT Usut Dugaan Penyelewengan Dana Umat ACT
Meski pernyataan ini terkesan normatif, namun sangat penting untuk mendorong agar aparat kepolisian segera bertindak memproses hukum pelaku kerusuhan.