Kekacauan pengembanan hukum praktis (chaotic legal endeavor) di Indonesia, yang terlihat pada hampir semua lini kehidupan bersama seharusnya menjadi alarm sosial yang mengingatkan kita untuk segera menata ulang sistem pengembanan hukum di Indonesia.
Penataan ulang ini mencakup semua rangkaian aktivitas intelektual mulai dari penggalian, pengeksplorasian, pemformulasian, pelembagaan serta pelaksanaan hingga mempertahankannya di pengadilan, bahkan paska putusan pengadilan, yaitu pengawasan dan pengembangannya.
Tentu saja, sistem hukum mencakup substansi, struktur dan budaya hukum. Gagasan ini mensyaratkan perilaku dan tindakan para pengemban hukum dan masyarakat yang koheren dengan fondasi dalam berkehidupan bersama, berbangsa dan bernegara, yaitu Pancasila dan Konstitusi.
Baca Juga: APIK PTMA gelar kompetisi tingkat internasional, lima mahasiswa Ilmu Komunikasi UMY raih kejuaraan
Demikian pemikiran yang mengemuka dalam perjumpaan ilmiah yang diselenggarakan oleh Indonesian Ph.D. Council di Desa Lingsar, Lombok pada hari ketiga kemarin. Hukum dapat berujung pada anarkhisme yang pada gilirannya berpotensi menghentikan sustainabilitas tatanan kehidupan bersama.
Pada hari kedua the 1st International Conference on Ethics of Legal Endeavour, yang diselenggarakan oleh Indonesian Ph.D Council (Dewan Doktor Hukum Indonesia) menampilkan beberapa nara-sumber dan speaker yaitu Prof. Dr. Topo Santoso, S.H.,MH; Dr. TM Luthfi Yazid, S.H.,LL.M; Dr. Indah Cahyani, SH,MH; Dr. Eny Suastuti, S.H.,M.Hum; Rizania Kharismasari, SH, MH dan Luh Putu Vera Astri Pujayanti, SH, MH.
Prof Dr. Topo Santoso, SH,MH, Guru Besar Fakultas Hukum UI yang juga berperan sebagai salah satu anggota tim penyusun KUHP baru mengatakan bahwa banyak pasal dalam KUHP yang baru yang merupakan “jalan tengah”. Misalnya ia mencontohkan Pasal 100 KUHP terkait pidana mati. Pasal ini sesungguhnya menengahi mereka yang menginginkan penerapan pidana mati secara zakelijk , sementara di sisi lain ada yang menginginkan agar pidana mati tidak perlu diterapkan.
Baca Juga: Petung Jawa weton Senin Legi 26 Desember 2022, kebalikan dari yang umum dan keinginannya besar
Pelaksanaan pidana mati dalam Pasal 100 yang mengharuskan ada semacam “masa percobaan” selama 10 tahun (Pasal 100 ayat 1), maka hal ini memberikan waktu jeda kepada si terpidana sebelum pelaksanaan ekseskusi mati.
Yang lainnya adalah pasal 240 terkait penghinaan kepada pemerintah maupun lembaga negara. Pasal ini pun dikatakan sebagai “jalan tengah” karena belajar dari masa lalu saat Pasal Hatzaai Artikelen maupun UU No 11/PNPS/1963 tentang subversi. Karena kita mengalami sejarah kelam masa Hatzaai Artikelen dan ketentuan tentang subversi.
Di masa Orde Baru terlalu banyak korban dari Pasal Hatzaai Artikelen maupun UU Subversi. Sedikit saja mengkritik penguasa Orde Baru maka dengan mudah dijebloskan ke penjara. Di masa Presiden BJ Habibie ketentuan tentang Subversi ini dicabut. Pertanyaannya, apakah di masa Presiden Joko Widodo Pasal tersebut akan dihidupkan kembali?
Menurut Prof Topo Pasal 240 KUHP baru merupakan “jalan tengah”. Jangan sampai adanya Pasal 240 membuat pejabat pemerintah menjadi baper, misalnya sedikit-sedikit melakukan laporan karena dikritik. Harus dibedakan yang disebut dengan kritik dan fitnah. Kalau terhadap kritik maka seorang pejabat sudah seharusnya terbuka dan menerima dengan sikap positif (if you are opened for criticism, you are on the right track for improvement).
Pasal tentang perzinahan dalam pasal 284 ayat 1 (b) di KUHP yang lama juga mendapat sorotan Prof Topo. Sebagaimana diketahui di masa lalu acapkali terjadi tindakan eigenrichting (main hakim sendiri) terkait “kumpul kebo” dan samen-leven (hidup bersama tanpa ikatan pernikahan). Untuk menghindari kebrutalan atau tindakan main hakim sendiri, Pasal perzinahan dalam KUHP baru direvisi.
Dalam konteks delik aduan, kecil kemungkinan orang tua sendiri mengadukan atau melaporkan anak kandungnya sendiri yang melakukan kesalahan perzinahan. Dengan demikian, penyelesaiannya diharapkan agar orang tua sendiri yang melakukan pengayoman atau pembinaan secara kekeluargaan terhadap anak kandungnya sendiri.