Ferry membangun usaha secara otodidak dengan bekal pendidikan formal lulus sekolah menengah pertama (SMP).
Usaha bakso dipilih karena kegemaran, dan kebetulan kampung halamannya terkenal dengan kuliner Bakso Malang.
Sejak usia 16 tahun memilih bekerja menafkahi diri, Ferry tak mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA, lantaran tak punya biaya. Hidup sebagai anak petani miskin, tumbuh bersama enam saudara lainnya yang juga tak tamat SMA.
Baca Juga: Tragedi Malam Tahun Baru, Pengacara Rudi S Gani Tewas Ditembak OTK di Bone
Karena tidak memiliki keterampilan, Ferry bekerja sebagai buruh cangkul di kampung halaman dengan upah Rp700 per hari. Pekerjaan itu dilakoninya selama beberapa bulan.
Ketika ada teman yang mengajaknya bekerja jualan bakso di Kuningan, Jawa Barat, Ferry hijrah dan memulai pekerjaan menjadi penjual bakso pikul. Ketika itu, dia sehari berjalan kaki keliling dari perumahan ke perumahan lain.
Pekerjaan menjual bakso pikul keliling kampung disukainya, karena sehari bisa menghasilkan Rp3.000 dari upah bagi hasil jualan.
Baca Juga: Sedang Birahi, Gajah di Kawasan Waduk Gajah Mungkur Wonogiri Harus Dirantai
Pendapatan ini empat kali lipat dari penghasilan sebelumnya sebagai buruh cangkul. Dia pun bertahan sampai enam bulan.
Hingga menjelang usia 20 tahun, Ferry mencoba kesempatan baru, yakni jualan bakso gerobak di Bali. Tepatnya di Jimbaran, selama dua tahun dia mendorong gerobak sejauh 4 km Jimbaran-Nusa Dua Bali, menjajakan bakso di komplek-komplek perumahan.
Sesuai prediksinya, pendapatan di Bali jauh lebih besar dibanding di Kuningan, Jawa Barat, sehari ia mampu mengumpulkan uang yang cukup hingga bisa menabung buat modal usaha.
“Di Bali kan banyak perantau juga, orang-orang Jawa juga banyak. Apalagi penjual bakso tak banyak di sana.” katanya antusias. *