Atas dawuh Sinuwun HB IX, di tempat tersebut dibangun Gedong Pusoko, dua Bangsal Prabayeksa, dan satu pendopo tempat masyarakat umum bisa melakukan tirakat.
Sedangkan, Gedong Pusoko dan Bangsal Prabayaksa merupakan tempat tertutup bagi umum.
Menurut Sekarsari, di tempat itu ada patung Ki Ageng Pemanahan, Panembahan Senopati, dan Ki Juru Mertani.
Sementara di Gedong Pusoko ada tiga buah pusaka berupa Songsong Agung Tunggul Nogo, Kuluk Raja, dan Wuwung Gebug Mataram. Ketiganya merupakan pemberian Sinuwun Sultan HB IX.
Baca Juga: Terdakwa kasus klitih Gedongkuning Yogya ajukan kasasi ke Mahkamah Agung
Sekarsari menceritakan, nun di zaman itu Ki Ageng Pemanahan tekun bertapa di Pertapaan Kembang Lampir mencari wangsit.
Ki Ageng Pemanahan tekun mencari wangsit, karena Sunan Giri meramalkan Danang Sutawijaya kelak akan menurunkan raja-raja besar di Jawa.
Kemudian, Ki Ageng Pemanahan bertapa di Kembang Lampir atas petunjuk Sunan Kalijaga.
Saat itu, nama kembang lampir belum dikenal, dan masih berupa hutan belantara yang gawat.
Baca Juga: Pemasteran ocehan butuh trik tersendiri, idealnya dilakukan sejak dini dan sangkarnya dikrodong
Menurut Sekarsari, penyebutan nama Kembang Lampir itu setelah ada wangsit yang turun berupa kembang yang semampir.
Artinya, bunga yang tiba-tiba jatuh teronggok di sebuah pohon kayu wegik.
Peristiwa itulah yang menjadi nama kawasan bukit petilasan bertapa Ki Ageng Pemanahan, yaitu Kembang Lampir.
Namun demikian, kata ‘kembang lampir’ yang sering diucapkan Mbang Lampir itu juga juga memiliki arti lain.
Baca Juga: Barcelona tantang Real Madrid di final Piala Super Spanyol