Kira-kira jam delapan malam sudah sampai di atas hutan Lebak. Keadaan hutan tadi sungguh sangat menyeramkan perjalanan Kanjeng Sultan dicegat oleh raksasa bernama Kala Bedati.
Raksasa sakti itu akan mencelakai Rengga Sasana karena dendam lamanya. Kedua makhluk halus itu memang sudah berseteru sajak lama entah karena masalah apa tidak disebutkan.
Mengetahui dirinya dihadang oleh Kala Bedati, Rengga Sasana yang sedang memanggul kursi tahta Baginda Raja itupun terbangnya membubung tinggi sambil melolos pedangnya.
Sesudah itu kemudian Rengga Sasana terbang menukik dengan tajam ke arah Kala Bedati berdiri, dipancungnya leher raksasa itu dengan pedangnya hingga kepalanya terlepas.
“Maaf, Kanjeng Sultan. Perjalanan kita agak terganggu karena aku harus menyelesaikan musuh bebuyutanku”, kata Rengga Sasana.
“Tidak apa-apa. Tuh, lihat! Di Istana Kerajaan Banten sedang diselenggarakan perjamuan para Bupati dengan menanggap Wayang kulit.
Rengga Sasana, turunkan aku di belakang pakeliran pertunjukan wayang kulit itu!”
“Sangat berbahaya, Gusti Prabu. Jika Sinuwun Banten mengetahuinya bisa jadi geger. Padahal Kanjeng Sultan seorang diri tidak mengajak para prajurit?”
“Turunkan aku bersama kursi tahtaku!”, Sultan Agung membentak marah.
Rengga Sasana terpaksa terbang menurun, menembus atap, lalu mendaratkan Kanjeng Sultan Agung yang duduk di kursi tahtanya di belakang pakeliran.
Aroma harum menyeruak memenuhi semua ruangan di Istana Kerajaan Banten, menusuk-nusuk hidung setiap orang.
Para hulubalang raja yang duduk di serambi juga mencium bau harum yang tidak mereka ketahui asal usulnya,
bulu kuduk mereka meremang, tenaganya mendadak menjadi lemas, tulang belulangnya seperti remuk redam.
