harianmerapi.com - Ketika Pangeran Diponegoro ditipu Belanda dan Jendral De Kock di rumah Residen Magelang, Kyai Candrabumi tidak mau ikut ditangkap dan mati konyol dibunuh Belanda.
Kyai Candrabumi dan para perajurit lainnya mencari keselamatan pergi menuju ke arah timur, menyeberang sungai Elo dan naik ke timur ke wilayah Candimulyo dan akhirnya menetap di sebuah dusun.
Ketika usia Kyai Candrabumi beranjak tua, sedikit demi sedikit dia meninggalkan masalah keduniawian dan lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT, dengan sering melakukan nyepi dan bersemedi.
Menurut ceritanya, suatu hari pada pertengahan bulan Ruwah Kyai, Candrabumi bersemedi di tempat yang rindang di antara dua pohon yaitu pohon semboja dan pohon pakis, di pinggiran jurang.
Sehingga tempat bersemedi Kyai Candrabumi tersebut kini disebut “Gupitan” karena tempatnya yang ‘nggupit”, yang artinya terjepit.
Namun warga dusun Candran (dusun di mana Kyai Candrabumi kala itu bermukim), pada hari berikutnya tidak melihat dan tidak berjumpa lagi dengan Kyai Candrabumi.
Ketika warga dusun mencari keberadaannya di sekitar desa, Kyai Candrabumi juga tidak berhasil ditemukan.
Sehingga, banyak orang yang percaya bila Kyai Candrabumi telah moksa, wafat dan musna bersama raganya karena kesaktiannya.
Ketika itu Eyang Kyai Candrabumi diketahui warga dusun Candran terakhir pada hari pasaran Pahing pertengahan bulan Ruwah menjelang bulan purnamasidhi.
Dan pada hari pasaran Pon, warga di dusun tersebut sudah tidak melihat lagi Kyai Candrabumi.
Sehingga untuk pedoman acara “sadranan” di Makam Patilasan Kyai Candrabumi yaitu antara tanggal 11 sampai 15 bulan Ruwah, pada hari pasaran Pon.
Cerita ‘tutur tinular’ dan turun-temurun ini masih ada dan lestari di tengah kehidupan masyarakat desa Podosoko.
Menurut penuturan Pak Sadjijo, kekeramatan makam petilasan Kyai Candrabumi memang terbukti dan diyakini masyarakat.