harianmerapi.com - malam itu terdengar lagi suara gamelan dan riuh suara lain layaknya ada pesta pertunjukan.
Yeni langsung mendekatiku, tangannya menggenggam tanganku dengan erat. "Tanganmu dingin banget, Yen," kataku
"Di kebun bambu itu ada pesta, Na," ucapnya gemetaran.
"Pesta apa..?" tanyaku polos.
"Pesta para penghuni kebun bambu, mereka bangsa makhluk halus," jawab Yeni.
"Ah yang benar kamu.." kataku penasaran.
Yeni menarik lenganku, dia meminta agar aku mengikutinya. Yeni berhenti di dapur lamaku yang jarang sekali difungsikan. Dia berdiri didekat jendela dapur, mengintip keluar dari balik tirai.
"Na, pesta sudah dimulai," kata Yeni sambil memintaku mendekat.
Aku berdiri di belakangnya, mengintip sepertinya, "Tak ada apa - apa," ujarku.
Mulut Yeni komat - kamit membaca sesuatu yang tidak kupahami. Lalu tangannya menutup kedua mataku.
"Bukalah matamu, dan kamu akan melihatnya. Mereka sedang berpesta," ucap Yeni.
Apa yang dikatakan Yeni memang benar apa adanya. Aku bisa melihat dari segi mata batin, bahwasannya di kebun bambu belakang rumah memang ada pesta para makhluk halus tak kasat mata.
Mereka menari - nari layaknya manusia. Ada penabuh gendang. Alat - alat musiknya pun komplet ada gong, gangsa, gender, bonang, saron dan slenthem yang dimainkan para wiyaga dengan cara dipukul menggunakan palu.
Ada sekelompok penari yang terdiri dari laki - laki dan perempuan. Para penari menarikan tari jaranan dengan lemah gemulai.
Lalu, ada dua sinden yang sedang bernyanyi. Parasnya cantik sekali bagaikan putri.
"Kamu sudah lihat, Na?" tanya Yeni.
Baca Juga: Enam Adab Menasihati Sesama Muslim, Salah Satunya Harus Menggunakan Kata-kata yang Baik