harianmerapi.com - Selama memimpin Mataram Islam, Prabu Hanyakrawati mengalami dua kali pemnerontakan, dari Demak dan Ponorogo. Hal ini memaksa Prabu Hanyakrawati atau Panembahan Seda Krapyak harus mengambil sikap lebih tegas lagi.
Menurut sejumlah kisah, Panembahan Seda Krapyak kemudian menyampaikan pidato yang sangat keras dalam ritual Siniwaka pada hari Senin yang ditujukan kepada seluruh keluarga kerajaan beserta para bupati.
Dalam pesan itu Raja menegaskan kraman merupakan perbuatan yang memalukan, terlebih bagi keturunan Panembahan Senopati.
Baca Juga: Cerita Mistis Jadi Korban Ritual Mencari Pesugihan Kandang Bubrah karena Salah Menyediakan Sesaji
Karena tidak mencerminkan sikap seorang kesatria Mataram. Barang siapa masih melakukan perbuatan melanggar paugeran kerajaan membuat rongrongan atas kedaualatan sang Nata, akan dijatuhi hukuman berat.
Setelah peristiwa itu, Mataram Islam di bawah kendali Prabu Hanyakrawati relatif stabil dalam menjalankan roda pemerintahan.
Bahkan dari berbagai sumber kisah tutur memberikan cerita, adanya pengiriman pasukan tempur sejumlah 150.000 dari Mataram menuju ke Surabaya.
Prabu Hanyakrawati juga dikenal pemberani sebagai mana Panembahan Senapati, sehingga pemberangatan pasukan ke Surabaya boleh jadi dimaksudkan untuk invasi dalam upaya perluasan wilayah Mataram.
Selain itu, Surabaya ketika itu menjadi salah satu pusat kegiatan VOC dalam upaya menguasai Jawa dari arah Timur.
Artikel Terkait
Babad Tanah Jawi: Ki Ageng Selamanik Senopati yang Melanjutkan Perjuangan Pangeran Diponegoro Melawan Belanda
Mataram Islam Pasca Panembahan Senopati 1: Putra Mahkota Adi Prabu Hanyakrawati Dinobatkan pada Hari Senin
Mataram Islam Pasca Panembahan Senopati 2: Setiap Siniwaka Senin Kamis Raja Menjalani Puasa Sunah
Mataram Islam Pasca Panembahan Senopati 3: Nasib Tragis Bupati Demak, Diringkus Mataram Menjadi Tahanan Kota
Mataram Islam pasca Panembahan Senopati 4: Setelah Bupati Demak, Pangeran Jayaraga dari Ponorogo Memberontak