harianmerapi.com - Setelah kelahiran si jabang bayi, orang tua muda itu bukan kebahagiaan yang didapat namun hari demi hari hanya Pertengkaran yang ada.
Kebutuhan harus segera dipenuhi, sementara Berjo harus membagi waktu kuliah dan kerja serabutan. Kalau pun ada uang, Berjo juga harus memikirkan untuk biaya kuliah.
Ternyata tak semudah yang dibayangkan, untuk membangun pernikahan. Apalagi jika secara ekonomi belum siap.
Baca Juga: Misteri Rumah Kuna yang Ternyata Dihuni Bangsa Lelembut
Terlebih lagi dari sisi kedewasaan, Berjo dan Marjina juga belum memadai. Kebiasaan hanya meminta pada orang tua, tiba-tiba sekarang harus berusaha sendiri.
Orang tua Marjina bukannya lepas tangan. Namun tentu saja namanya orang tua ya sekadar membantu anaknya yang sudah berumah tangga.
Dari luar sepertinya terlihar rukun-rukun saja, namun di dalam rumah seolah ada bara api yang setiap waktu bisa saja meledak.
Baca Juga: Menunggu Tukang Bakso, yang Lewat Hanya Terlihat Nyala Sentir Berjalan
"Hebat ya, keluarga Pak Marta bisa hidup rukun bersama anak dan cucunya tinggal dalam satu atap," kata salah seorang tetangga.
"Bagaimana lagi, wong anaknya belum siap menikah. Terpaksa orang tua yang harus menanggung," timpal ibu lainnya.
"Ah semua itu wang sinawang. kelihatannya saja mereka rukun, tapi kita kan nggak tahu dalamnya. Orang punya menantu pengangguran pastilah ada rasa sebelnya," sahut ibu yang lain lagi.
Baca Juga: Wanita Korban Pembunuhan Memberi Petunjuk
"Sudahlah, nggak usah ngomongin orang lain. Berkaca saja bagaimana diri kita masing-masing," ujar ibu yang tadi mulai membicarakan keluarga Marta.
Gunjingan miring para tetangga itu bukannya tak sampai telinga orang yang diomongkan. Hal itu membuat Marjina makin jengah dengan nasibnya sendiri.
Sebagai pelariannya, maka sang suami yang jadi sasaran. Ada-ada saja yang menjadi sebab keduanya bertengkar, sekalipun diawali dari masalah yang sangat sepele. (Bersambung) *