KASUS pencurian yang terjadi di Cangkringan Sleman baru-baru ini membuka fakta mengejutkan, yakni otak dari pencurian itu adalah seorang remaja, P (17). Sedang empat rekannya terhitung sudah dewasa.
Mereka menyatroni gudang milik kampus swasta di kawasan Cangkringan Sleman. Komplotan pencuri ini menggondol satu unit mesin genset, dua alat pemotong rumput dan satu unit mesin las listrik.
Kelima pelaku itu beraksi dengan mengendarai mobil Honda Brio sekitar pukul 23.00 kemudian berbagi tugas, antara lain ada yang menjebol kunci pagar dan membobol gudang, sementara yang lain mengawasi.
Baca Juga: BPBD dan FPRB Gelar Gladi Penanggulangan Bencana Tsunami
Polisi berhasil mengendus keberadaan pelaku setelah melakukan penyelidikan mendalam. Setelah dilakukan interogasi, ternyata P menjadi otak pencurian tersebut. Sedang lainnya, seperti Cebret (25) warga Pakem adalah residivis pencurian.
Kita tidak heran bila Cebret mengulangi perbuatannya. Artinya, hukuman yang dijalani Cebret selama ini tak menimbulkan efek jera. Ia tetap saja melakukan pencurian, terlepas apakah yang bersangkutan mengalami kelainan jiwa (klepto) atau tidak. Itulah mengapa masyarakat tidak gampang percaya dengan residivis, karena suatu saat bisa mengulangi perbuatannya.
Lantas, bagaimana dengan P yang notabene masih berusia 17 tahun ? Dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), ia digolongkan sebagai anak yang berkonflik dengan hukum dan posisinya sebagai pelaku tindak pidana. Biasanya polisi akan mempertimbangkan berbagai hal sebelum memproses hukum. Sebab, polisi harus mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak tersebut, terutama menyangkut masa depannya.
Baca Juga: Stok Kantong Darah di PMI Temanggung Aman
Kalau ancaman pidananya tak terhitung berat, polisi bisa mengambil langkah diversi, yakni tidak memproses hukum, melainkan melalui pendekatan pembinaan, bisa melalui lembaga sosial (Dinsos) atau bisa pula diserahkan kepada orangtuanya untuk dibimbing. Langkah penyelesaian di luar hukum ini acap menimbulkan protes dari masyarakat.
Pasalnya, langkah tersebut tidak menimbulkan efek jera pelaku. Sebagian masyarakat ingin agar anak tetap dihukum, namun dengan ketentuan yang berbeda dengan orang dewasa.
Ini sepenuhnya menjadi kewenangan kepolisian sebagai pihak yang melakukan penyelidikan dan penyidikan. Kalau memang akan menempuh diversi, harus dipertimbangkan betul semua aspek yang terkait, misalnya orangtuanya harus menjamin bahwa anak tersebut terpantau sehingga tidak akan mengulangi perbuatannya.
Sedangkan teman-teman P, seperti Cebret dkk bakal menjalani proses hukum biasa, yakni menggunakan KUHP khususnya yang mengatur tentang pencurian.