RUPANYA ketakutan akan kebangkitan Islam pada paruh kedua abad-19, dialami pula oleh kebanyakan warga Eropa. Baik yang bermukim di koloni maupun di negara induk.
Mereka memandang Islam dengan curiga dan mencemaskan fanatisme Islam yang mereka amati tumbuh kembang di Indonesia.
Bahkan ada yang mengaitkan dengan meningkatnya kejahatan perampokan, dan pemberontakan petani dengan kebijakan liberalisasi penyelenggaraan ibadah haji. Menurut mereka, liberalisasi tersebut mengancam kewibawaan pemerintah.
Baca Juga: 132 Pejabat Eselon 3 dan 4 Pemkab Temanggung Dilantik, Bupati Pesan Tingkatkan Performa
Ada sejumlah kejadian gangguan keamanan pada paruh kedua abad-19. Sekitar tahun 1870 sejumlah pemberontakan petani bermunculan. Salah satu dari pemberontakan tersebut terjadi di tanah tanah partikelir di sekeliling Batavia.
Di Bekasi, pada 1869, sekitar 170 orang bersenjatakan tombak dan golok bergerak menuju kawasan Meester Cornelis (sekarang wilayah Jatinegara-Jakarta) untuk membebaskan pemimpin mereka, Nata.
Ada pula pemberontakan Soero Soemito dan Soero Setiko di Soerakarta pada 1869, tersebar berita bahwa para pemberontak berjuang untuk mengusir Pemerintah Belanda.
Baca Juga: Manfaat Adas Manis untuk Mengatasi Insomnia dan Gangguan Pencernaan
Di tahun 1871 sejumlah warga Pekalongan melakukan serangkaian pembunuhan terhadap warga Eropa. Tindakan tersebut dilakukan sebagai bentuk penghormatan mereka terhadap nenek moyang mereka, Djoemadil Kebro.
Dalam buku Polisi Zaman Hindia Belanda, karya Marieke Bloemergen, terbitan KITLV dan Kompas, 2011, dikisahkan sejak 1850 semakin banyak orang berangkat menunaikan ibadah haji dan, seiring dengan itu, menjamur pula pembangunan masjid dan pesantren di Jawa.
Pada 1852, Gubernur Jenderal A.J. Duymaer van Twist (1851-1856) menetapkan bahwa surat jalan untuk pergi ke Mekkah, ditetapkan 110 guilders untuk tiap calon jemaah haji.
Baca Juga: Ini Saran Praktisi Hukum untuk Selesaikan Polemik Warkopi
Selanjutnya akan diberikan tanpa bayaran dan dapat dimintakan langsung kepada bupati dengan syarat yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa sebagai calon haji memiliki uang untuk menghidupi dirinya sendiri dan keluarga yang ditinggalkan.
Perlu diakui bahwa peningkatan jumlah warga di Hindia Belanda dalam berhaji juga sebagai dampak dibukanya Terusan Suez pada 1869. jumlah jemaah haji meningkat pesat. Alhasil di Jawa semakin sering tampak haji berpakaian putih.