opini

Kepercayaan Publik kepada Aparat Penegak Hukum

Minggu, 19 Februari 2023 | 09:30 WIB
Sudjito Atmoredjo (Dok.Merapi)

Oleh: Sudjito Atmoredjo *)

SENIN, tanggal 13 Februari 2023, menjadi hari bersejarah dalam penegakan hukum di Indonesia. Pada hari itu, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan vonis hukuman mati kepada Ferdy Sambo atas pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yosua dan perintangan penyidikan. Sedangkan istrinya, Putri Candrawathi, divonis 20 tahun penjara atas keterlibatannya dalam pembunuhan berencana tersebut.

Beragam komentar ataupun tanggapanpun berseliweran di media. Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD menilai vonis terhadap Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi sudah tepat.  Keduanya dijerat dengan pasal yang memiliki ancaman maksimal yakni hukuman mati. Vonis terhadap keduanya tak bisa dikurangi. Pasalnya, tidak ada satupun fakta persidangan yang dinilai meringankan putusan.

Dalam perspektif sosiologi hukum, penjatuhan vonis, merupakan muara dari proses peradilan. Sedemikian panjang proses peradilan itu berlangsung melalui apa yang disebut “penegakan hukum” (law enforcement) maupun “penggunaan hukum” (the use of law). Walaupun dua kata itu punya makna berbeda, tetapi bergayut, tali-temali, satu dengan lainnya.

Baca Juga: Pameran Lukisan Journey of Friendship International Women Artist Art Exhibition 2023 Resmi Dibuka

Aparat berwenang, bertugas menegakan hukum. Mestinya demi terwujudnya keadilan. Akan tetapi, sering dijumpai oknum aparat, menegakan hukum untuk pencapaian tujuan tertentu, dan itu bukan keadilan. Publik, mencermati ada (banyak) orang-orang yang menggunakan hukum (polisi, advokad, jaksa, hakim, saksi, ahli, dan lain-lainnya) secara tidak jujur, tidak profesional, dan tidak konsisten. Demi kepentingan pribadi, kelompok, organisasi, hukum digunakan untuk menutupi kesalahan-kesalahannya, agar seolah-olah bersih, sehingga terbebas dari sanksi hukum.

Publik, betapapun terlihat diam atau sekadar bisik-bisik, sebenarnya peduli terhadap perilaku penegak hukum. Ada penilaian, siapa diantara penegak hukum yang berilaku baik, dan siapa pula yang tergolong berperilaku buruk. Terkait dengan kasus Sambo misalnya, sebelum maupun setelah vonis dijatuhkan, publik bertanya-tanya, mengapa terjadi perintangan proses peradilan (obstruction of justice), mengapa ada dugaan dan indikasi gerakan bawah tanah untuk membebaskan atau meringankan hukuman terdakwa?. Bukankah mereka itu aparat penegak hukum?

Betapapun praktik kotor di dalam maupun di luar sidang pengadilan telah lama terindikasi, namun tidaklah mudah menangkap pelakunya. Bahwa kotor dan bersih itu sekadar  kategori, namun keduanya senantiasa berkelindan. Artinya, sungguh naïf, bila proses peradilan hanya bertumpu pada aspek formal-prosedural semata, tanpa mencermati kejadiaan-kejadian laten sebagai realitas sosial yang berlangsung secara perenial.

Baca Juga: Tiga Hari Pencarian, Korban Tertimbun Longsor di Karanganyar Akhirnya Ditemukan

Mahfud MD pernah menyebut Ferdy Sambo dan kawan-kawannya, merupakan geng kejahatan. Geng ini, seakan amat kuat, kebal hukum. Masyarakat dibuat miris dengan ulah atau tingkah-lakunya. Hukum sebagai instrumen penjaga ketertiban, keteraturan, kedamaian, tidak berlaku bagi geng Sambo. Harapan masyarakat untuk dapat hidup damai, usaha lancar, suasana aman, semua itu hanya terwujud bila dijamin oleh geng Sambo, dan bukan oleh hukum negara maupun hukum masyarakat.

Pada berbagai kasus (judi, narkoba, becking usaha, dan lain-lain), optik sosiologi hukum menemukan fakta bahwa penegakan hukum telah didorong masuk ke wilayah fatamorgana. Artinya, dari kejauhan seolah terlihat hukum telah ditegakkan, tetapi senyatanya yang terjadi adalah pemaksaan (langsung atau tak langsung) oleh geng Sambo terhadap masyarakat.

Dalam situasi serba remang-remang itu, maka tingkat kepercayaan publik kepada aparat penegak hukum rendah. Senantiasa dipertanyakan, apakah penegakan hukum itu untuk perwujudan keadilan, ketertiban, dan keteraturan, ataukah sekadar permainan kekuatan dan kekuasaan untuk menutupi (cover-up) perilaku  jahatnya.

Baca Juga: Siapkan Makanan Pengungsi, Kodim 0726 Sukoharjo Buka Dapur Lapangan Bantu Korban Banjir

Betapapun tidak sedikit anggota masyarakat yang mengapresiasi vonis majelis hakim atas Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, dan terdakwa lainnya, namun tak sedikit pula anggota masyarakat yang bertanya-tanya perihal komitmen oknum kejaksaan, oknum kepolisian, oknum advokad, para akademisi sebagai saksi ahli. Dipertanyakan, mengapa mereka masih berusaha membela dan membenarkan kejahatannya?.

Halaman:

Tags

Terkini

FWK Membisikkan Kebangsaan dari Diskusi-diskusi Kecil

Jumat, 31 Oktober 2025 | 10:30 WIB

Budaya Hukum Persahabatan

Rabu, 24 September 2025 | 11:00 WIB

Generasi PhyGital: Tantangan Mendidik Generasi Dua Dunia

Minggu, 21 September 2025 | 10:13 WIB

Akhmad Munir dan Harapan Baru di Rumah Besar Wartawan

Selasa, 2 September 2025 | 09:52 WIB

Kemerdekaan Lingkungan, Keselamatan Rakyat

Rabu, 13 Agustus 2025 | 10:15 WIB

Mikroplastik: Ancaman Baru terhadap Kesehatan

Kamis, 7 Agustus 2025 | 09:00 WIB

Pro dan Kontra Identik Perpecahan?

Rabu, 6 Agustus 2025 | 12:05 WIB

Mentalitas Kemerdekaan

Jumat, 18 Juli 2025 | 16:50 WIB

Jabatan sebagai Amanah

Kamis, 19 Juni 2025 | 11:15 WIB