Catatan Hendry Ch Bangun
ADA suatu masa ketika menjalankan tugas ke luar kota untuk urusan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), malam hari kami semua berkumpul untuk meringankan beban pikiran. Lalu ketika di rumah makan atau ruang pertemuan ada musik hidup, satu persatu diminta bernyanyi. Siapapun wajib bernyanyi. Bahkan konon ada pameo, seorang calon pemimpin di PWI harus berani buka suara di depan rekan-rekannya. Kalau menyanyi depan teman saja saja tidak berani, bagaimana dia menghadapi khalayak, kira-kira begitu pembenarannya. Semacam tes mental.
Di era Tarman Azzam almarhum, lagu yang paling banyak dinyanyikan adalah Surga Di Telapak Kaki Ibu gubahan Said Effendi yang popularitasnya tembus sampai ke Semenanjung Malaysia. Liriknya tentang bagaimana jasa seorang ibu mengandung, melahirkan, membesarkan, anaknya dengan penuh kasih sayang, sehingga seumur hidupnya seorang tidak mampu membalas jasa ibunya dan oleh karena itu sebesar apapun baktinya surga itu hanyalah sampai di telapak kaki ibu.
Lagu hits lainnya yang kerap dipilih, Jangan Ada Dusta di Antara Kita, yang disenandungkan Broery Pesolima bersama Dewi Yul. Konon lagu itu juga banyak dinyanyikan di acara pisah sambut para pejabat negara, sipil atau militer. Liriknya memang menarik, tentang dua orang yang pernah punya masa lalu dan ingin menjalin hubungan baru dengan kekasih barunya. Keduanya menyatakan ya itulah kenyataannya, kalau mau jadi ya ayolah, yang penting setelah bersama jangan lagi ada kebohongan di rumah tangga.
Baca Juga: Mahfud MD ibaratkan pengungkapan kasus Brigadir J seperti menangani orang sulit melahirkan
Tapi lebih dari makna intrinsik lagu, sebenarnya mengapa lagu ini dinyanyikan acara rekan sejawat adalah seperti menggambarkan prinsip kolegialisme, kebersamaan korps. Kalau sudah menjadi keluarga besar, tidak boleh ada dusta, kebohongan, sampaikan saja apa adanya untuk dibicarakan. Singkirkan semua perbedaan, mari jalin kebersamaan.
Nah, lagu favorit berikutnya adalah Jangan Sampai Tiga Kali yang dipopulerkan oleh tiga penyanyi dari Medan, Trio Ambisi. Meskipun penampilan seadanya, tiga orang ini berhasil menyajikan kombinasi suara apik dan enak didengar. Isinya bercerita tentang bagaimana seorang pemuda masih memberi kesempatan kepada kekasihnya yang melakukan perselingkuhan untuk kembali kepadanya. Meskipun sakit hati, dia masih mau memaafkan. Tapi pesannya jelas, “jangan sampai tiga kali”. Mungkin karena sudah terpergok dua kali. Sebab sejatinya tidak ada orang yang memberi maaf untuk urusan kesetiaan itu, kecuali orang itu luar biasa sabarnya. Sekali salah saja pasti sudah diputuskan hubungan, atau digugat cerai kalau sudah terlanjur naik ke jenjang perkawinan.
***
Soal tiga kali ini tidak hanya soal kesetiaan yang dinyanyikan dalam lagu. Di banyak urusan khususnya kekuasaan, tiga kali ini sering menjadi patokan atau batas, yang kurang jelas dasar alasannya. Di zaman Orde Lama dan Orde Baru, masa jabatan presiden tidak dibatasi sehingga Soekarno dan Soeharto menjabat berkali-kali. Tetapi ketika kemudian Orba tumbang dan Indonesia masuk ke masa reformasi, limitasi masa jabatan dianggap perlu karena dampak negatif kekuasaan yang tidak dibatasi.
Pepatah power tends to corrupt yang dengan telanjang ditunjukkan Soeharto di 20 tahun terakhir kepemimpinnya, dikoreksi antara lain dengan cara menentukan batas masa jabatan. Presiden, Gubernur, Bupati, hanya dapat memimpin paling banyak dua kali. Begitu pula dengan jabatan publik lainnya, yang mekanismenya melalui pemilihan. Sampai-sampai pengurus lembaga semi pemerintah pun ikut dibatasi seperti Dewan Pers, Komisi Penyiaran Indonesia, Komnas HAM, Dewan Pengawas TVRI dan seterusnya. Organisasi massa pun ikut menyesuaikan diri dengan semangat reformasi.
Yang tidak dibatasi ya hanya masa pengabdian anggota parlemen. Sejauh masih ditunjuk partainya seseorang bisa menjadi anggota Dewan Perwakilian Rakyat entah di pusat atau daerah, seumur hidup. Bisa jadi berhenti hanya karena mati atau sakit permanen. Tak beda dengan partai politik, tidak ada pembatas. Mungkin dianggap ranah privat, jadi ya terserah kemauan anggota partai kalau terus menerus dipimpin orang yang sama.
Termasuk yang memiliki semangat reformasi itu Persatuan Wartawan Indonesia, yang membatasi masa jabatan Ketua Umum atau Ketua Provinsi sebanyak dua kali. Meskipun di Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga susunan kalimatnya “dua kali berturut-turut” mereka yang membahas dan akhirnya merumuskan ayat ini, semangat, perasaan, dan pikiran HANYA dua kali. Tidak terpikirkan ada yang ingin memimpin organisasi profesi ini lebih dari dua kali.
Baca Juga: Puluhan personel Polri langgar kode etik, mulai Tamtama hingga Perwira Tinggi
Alasannya sederhana, mengelola lembaga yang beranggotakan belasan ribu orang, atau ratusan orang di tingkat provinsi, bukan hal mudah apalagi anggaran hanya bisa ada kalau diusahakan melalui kerjasama atau bantuan. Uang tidak ada, masalah segudang, anggotanya semua orang yang pintar, independen dan bersikap merdeka seperti seniman, maka menjadi ketua memiliki tantangan yang sangat besar. Tidak hanya pikiran dan tenaga, materi pun kadang harus dikorbankan agar organisasi dapat berjalan baik.
Kalau ternyata ada yang ingin lebih dua kali, ini tentu luar biasa dan menarik untuk dikaji. Apakah privilegenya begitu tinggi sehingga berani berkutat dengan persoalan-persoalan yang menguras tenaga dan pikiran?
***