Tentu ada suatu masa dimana di daerah ada orang yang “dipaksa” menjadi Ketua PWI Provinsi lebih dari dua kali. Itu adalah zaman di mana anggota PWI masih sedikit, sehingga banyak yang berpikiran, karena seseorang dianggap cakap dan dapat memimpin, dia diminta teman-temannya untuk memimpin kembali setelah sempat berhenti. Ini terjadi di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.
Tidak ada yang salah dengan masa lalu, tetapi tentu salah kalau kondisi masa lalu itu diterapkan lagi sementara zaman sudah berubah. Anggota PWI di tingkat provinsi tidak lagi sekadar “belasan orang” tapi sudah ratusan, bahkan ada yang secara administratif anggotanya di atas 1000. Anggota pun juga tidak lagi mayoritas wartawan media cetak atau penyiaran seperti dulu, bahkan mayoritas media baru seperti digital. Keberlanjutan kepemimpinan menjadi penting selain sebagai proses regenerasi juga menunjukkan pemahanan bahwa perubahan kondisi dan tantangan pers dan media harus diantisipasi dengan menyerahkan estafet kepada orang baru pula.
Baca Juga: Teka-teki motif pembunuhan berencana Brigadir J masih misteri
Persatuan Wartawan Indonesia adalah organisasi yang tujuan utamanya untuk mengembangkan profesi anggotanya agar adaptif terhadap kemajuan teknologi komunikasi dan media. Bagaimana agar anggota tidak terjebak dalam pola lama yang hanya mengandalkan pendapatan dari gaji atau tulisan, tetapi menjadikan pengetahuan dan keterampilan profesinya untuk memperoleh pendapatan. Menjadi tuan atas dirinya sendiri, tetapi tetap dalam koridor etika, kode etik jurnalistik yang sudah mendarah daging dalam dirinya.
Dengan demikian PWI yang dulu didirikan pada pendahulu kita untuk tujuan mulia tidak boleh tersandera dalam jebakan kepentingan pribadi, menjadikannya alat ataupun sekadar batu loncatan untuk hal lain. Apalagi dua organisasi yang lahir sebagai pemberontakan atas PWI yakni AJI dan IJTI menunjukkan konsistensi dalam menjadikan anggotanya wartawan yang professional dan maju dengan program kerja dan kegiatan inovatif. PWI tidak boleh kalah dan harus selalu berusaha lebih baik dari organisasi sejenis sesuai eksistensi kesejarahan dan kebesarannya.
***
Kembali ke awal tulisan ini, tradisi menyanyi dan bergembira di sela-sela kepenatan mengurus organisasi harus dilanjutkan, sebab itu akan membantu dalam terciptanya kebersamaan dan semangat untuk maju. Dan kalau sudah merasakan senasib sependeritaan, apapun rintangan bakal diterabas, apapun tantangan akan ditaklukkan satu-persatu.
Baca Juga: Sadis, paman tikam keponakan hingga tewas saat belajar di kelas SD Kecamatan Sunggal Deli Serang
Tetapi kita harus tetap meyakini prinsip-prinsip dan tata kelola organisasi yang baik, akuntabel, dan sesuai dengan semangat reformasi. Termasuk di antaranya seperti judul lagi tadi, Tidak Ada Dusta di Antara Kita, dan Jangan Sampai Tiga Kali.
Ciputat, 7 Agustus 2022.
Hendry Ch Bangun, Wartawan Senior, di Jakarta