Bercermin pada akhlak Nabi, apabila bangsa ini ingin hidup bernegara hukum yang diridhai Allah swt, maka kejujuran, keadilan, dan kebenaran wajib dikembalikan sebagai rohnya hukum Indonesia. Artinya, penyelenggara negara maupun warga negara, wajib menanamkan kejujuran, keadilan, dan kebenaran hakiki dalam jiwanya, hingga terjabarkan sebagai perilaku hukum sehari-hari. Bagaimana caranya?
Pertama, mengisi perjalanan kehidupan berbangsa dengan nilai-nilai spiritual-religius. Rasulullah saw menuntunkan kepada umatnya agar dalam melakukan perjalanan (al-safar), setelah diawali bismillah, tidak lupa mampir di masjid. Apa maknanya? Di situlah sejenak rongga qalbu diisi dengan kekuatan spiritual-religius, agar dalam perjalanan panjang tetap berada di jalan lurus, tegar, dan tidak tergoda oleh berbagai hal-hal yang bersifat materiil-duniawi semata.
Baca Juga: Bedug Masjid Agung Surakarta Dipercaya Bertuah, Bisa Memberi Pertanda Gaib Keberuntungan
Dalam konteks bernegara hukum, bahwa membuat, melaksanakan, dan menegakkan hukum, harus berporos, berproses, dan bermuara kepada keridhaan Allah swt. Kalau cara demikian ditempuh, kebahagiaan dunia-akhirat akan tercapai sekaligus. Imam Al-Ghazali memberi tahu bahwa kesadaran spiritual-religius menjadi alat penting untuk mengenal dunia seisinya, termasuk rahasia kebesaran Allah swt melalui hukum-hukumnya yang terbentang di muka bumi.
Kedua, menjadikan ramadhan sebagai “shahrul-jihad” (bulan perjuangan), yakni perjuangan mewujudkan kejujuran, keadilan, dan kebenaran, sekaligus kesabaran dalam menegakkan supremasi hukum. Sabar dalam pengertian hakiki sebagai ‘gigih dan ulet’.
Sabar ini penting, terkait dengan tekad dan upaya pengikisan dominasi hukum berbasis politik dan bisnis. Hingga sat ini, hukum beraroma kedustaan, kedzaliman, dan kesesatan, masih dominan. Hukum jenis ini, dijadikan alat pelanggengan kekuasaan, jabatan, dan perolehan harta haram. Inilah hukum jahiliah. Berbekal kegigihan dan keuletan, pastilah perjuangan berhasil. Innallaha ma'ashobirin.
Baca Juga: Mbah Slamet, Dukun Pengganda Uang Bunuh Belasan Pasien, Dikubur di Tegalan
Ketiga, menjadikan ramadhan sebagai bulan penyemangat untuk meningkatkan ibadah (shahrul ibadah), baik vertikal maupun sosial-horizontal. Dalam konteks hukum, ibadah vertikal menjadi wilayah privat, sementara ibadah sosial-horizontal masuk wilayah publik.
Kita hormati hak-hak privat masing-masing orang. Silahkan beribadah sesuai dengan keyakinan masing-masing. Akan tetapi, untuk urusan publik, kita wajib memiliki toleransi, empati dan saling melengkapi. Pada tataran tertinggi, patuh dan taat pada hukum merupakan manifestasi dari kesempurnaan ibadah tersebut.
Dengan perenungan dan niat ikhlas “liwajhillah wa limardlatillah” (karena Allah dan karena mencari ridha Allah), semoga kegelapan hukum di negeri ini segera dapat diubah menjadi suasana terang benderang, dan mampu mengantarkan bangsa ini mencapai cita-citanya. Aamiiin. Wallahu’alam.
* Guru Besar Ilmu Hukum UGM