Berbeda barangkali dengan pemusik Coldplay, yang penjualan tiketnya saja sudah bikin heboh.
Dikaitkan lagi dengan personelnya yang dianggap bakal mempromosikan LGBT, dst. Atau
kesebelasan nasional Argentina, yang berkunjung ke Indonesia. Mulai dari teka teki hadir
tidaknya Lionel Messi, penjualan tiket sistem lelang yang membuat banyak peminat kesulitan
untuk memperolehnya, harga tiket yang lebih tinggi dari biasanya, dsb.
Tidak ada bedanya dengan media televisi yang juga banyak fokus pada berita yang sesuai
permintaan audiens, yang viral, yang faktual, yang peristiwanya memiliki kedekatan dengan
pemirsanya. Atau dalam kasus tertentu, membuat pemberitaan yang sesuai dengan pesanan,
entah itu untuk yang berani bayar maupun kepentingan politik pemiliknya.
Kalau dikatakan pers sudah semakin jauh dengan jati dirinya yang diagung-agungkan di masa lalu, itu tidak salah. Zaman berubah, tuntutan juga berubah, sementara daya dukung untuk hidup semakin menurun. Bertahan dengan menyesuaikan diri atau mati dalam idealisme? Pastilah para pemilik media memilih hidup.
***
Dari sisi pers sebagai industri, begitulah keadaannya. Tetapi apakah pengelola media dan
wartawan sama sekali tidak lagi peduli pada nilai-nilai kemanusian seperti tragedi matinya
ratusan pengungsi itu? Semestinya tetap peduli.
Wartawan adalah profesi yang sangat melekat dengan kemanusian. Hampir semua wartawan
sangat cepat tersentuh apabila ada peristiwa yang menyangkut nyawa manusia, hidup mati
manusia. Maka kalau kalau sudah beku dan kebal, imun, dengan situasi miris yang dia ketahui, mungkin bisa dikatakan jiwa kewartawanannya telah hilang.
Kita bisa mencoba mengujinya dengan terjun ke lapangan. Melihat pedagang keliling yang
dalam satu hari bisa tak laku satu pun dagangannya, melihat supir mikrolet yang lebih sering
termenung karena penumpang semakin jarang, ojek lapangan yang terpuruk karena kalah
bersaing dengan ojek online, apakah kisah mereka itu menarik diberitakan atau menganggapnya orang yang sudah bernasib sesuai takdirnya?
Atau pergi ke kamar mayat untuk melihat orang yang kehilangan ayah, ibu, kekasih, anak, atau saudaranya. Bagaimana satu nyawa itu begitu penting dalam kehidupan mereka.
Ditangisi, diciumi karena seolah tidak mau berpisah. Tetapi kalau tidak menyangkut diri kita, belasan, puluhan, atau ratusan nyawa seperti kasus pengungsi di perairan Yunani, justru terlewat begitu saja dari perhatian kita.
Kita sendiri sebagai wartawan barangkali beruntung, mencapai keadaan sekarang setelah
berjuang tidak kenal waktu, bercucuran keringat, dihina dan dimaki, dan tetap bertahan karena ingin memperoleh jabatan, kedudukan, yang lebih baik. Maka sewajarnya pula kita menghargai perjuangan, siapapun dia termasuk orang-orang “kecil” di atas, dan dengan status wartawan menjadikannya sebagai tulisan untuk menjadi perhatian orang-orang yang berkepentingan.
Siapa tahu ada kebijakan yang lalu membantu orang-orang tersebut. Mudah-mudahan kritik yang disampaikan Obama itu sedikit menggugah hati nurani kita sebagai wartawan, untuk lebih peduli pada kemanusian, khususnya pada mereka yang terpinggirkan, tersisihkan, dan berjuang untuk kehidupan yang lebih baik.
Wallahu a’lam bhisawab.
Ciputat 28 Juni 2023
*)Hendry Ch Bangun, wartawan senior, mantan Wakil Ketua Dewan Pers.