HARIAN MERAPI - Rasulullah Muhammad SAW pernah memberi nasihat kepada seseorang yang datang meminta nasihat kepada beliau: ”jangan kamu marah”.
Marah adalah sesuatu yang jika sudah menguasai seseorang bisa menyeretnya kepada keadaan buruk, bahkan dapat membuat seseorang menderita penyakit syaraf, seperti penyumbatan pembuluh darah, tekanan darah tinggi, dan sebagainya.
Nabi mengulangi nasihat itu sampai beberapa kali. Agama Islam mengajarkan, apabila perasaan kita terluka atau dilukai orang lain, ada tiga cara untuk merespon secara positif; yaitu : (1)
menahan marah, (2) memberi maaf, dan (3) membalasnya dengan kebaikan.
Tidak boleh marah bukan berarti membiarkan kesalahan dan kemungkaran yang terjadi. Nahi
munkar dan mengoreksi kesalahan orang lain merupakan amal baik yang diperintahkan Islam, tetapi nahi munkar dan marah adalah dua hal yang berbeda.
Yang dituju dari nahi munkar adalah perbuatan yang tidak benar, tetapi yang diserang dalam marah adalah pribadi yang melakukannya, bukan perbuatannya itu sendiri. Orang marah lebih banyak dikendalikan oleh emosinya, sehingga kadang-kadang berlaku seperti orang bodoh.
Andaikata rasa marah kepada orang lain itu sulit untuk dikuasai, maka Islam mengajarkan untuk menghindar dalam rangka menenangkan dan menguasai nafsu marahnya.
Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa rasa marah (ghadhab) disebabkan oleh dominasi unsur
api atau panas (al-hararah), yang mana unsur tersebut melumpuhkan peran unsur kelembaban atau basah (al-ruthubah) dalam diri manusia.
Baca Juga: Menunggu hukuman mati
Hatinya sudah terpenuhi dengan darah kotor, sehingga hati menjadi buta terhadap realita serta tidak dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Kaitannya dengan menangani amarah, ada langkah-langkah praktis yang dapat dilakukan; yakni :
Pertama, mengubah sikap. Amarah bisa menjadi dorongan positif kalau ditangani secara
sensitif dan asertif; amarah harus ditangani, bukan dipendam atau dilampiaskan. Harus diingat, kita semuanya mempunyai pilihan ketika sedang marah—terkendali atau lepas kendali, dan tidak ada seorang pun bisa membuat kita lepas kendali kecuali kita membiarkannya terjadi.
Kedua, kendalikan ketakutan. Seringkali amarah yang terpendam merupakan akibat
hilangnya rasa percaya diri yang berakar pada ketakutan—takut kehilangan pekerjaan, citra diri,
teman, hidup, penghasilan, dan sebagainya. Dengan memerangi ketakutan tersebut kita biasanya menjadi lebih baik dalam mengendalikan amarah.
Ketiga, hadapi sisi buruk dalam diri sendiri. Kita harus berani mengakui dan melihat sisi jelek
diri sendiri—menerima kelemahan sendiri—tanpa ada perasaan terancam. Mawas diri merupakan
langkah penting untuk mengurangi rasa marah.
Baca Juga: Tumbuh Bersama Pemberdayaan Rumah BUMN BRI, Pundi Craft Dukung Eksistensi Produk Kerajinan Lokal
Keempat, mengatasi timbunan amarah. Ini bisa berarti menghadapi dan berbagi kepedihan
dan penderitaan di masa kecil, termasuk yang baru dirasakan (kompleks terdesak), yang diakibatkan oleh orang lain.