Dari ajaran moralitas-regiligus di atas, ditarik ke ranah kehidupan bernegara Indonesia, kiranya ada beberapa pelajaran penting yang wajib diperhatikan dan dijadikan peringatan.
Pertama, di kalangan penganut modernisme, ada kecenderungan ilmu yang otentiknya sakral- religius, profetik, dikebiri menjadi sains sekuler, duniawi, rasional, dan matematis belaka. Ketika ilmu sekuler itu dijadikan sebagai sandaran/dasar berargumentasi, bersikap, dan bertindak, maka sulit dicapai titik temu dengan penganut ilmu sakral-religius, profetik. Ilmu sakral-religius, profetik, jangkauannya dunia hingga akhirat. Sementara sains (ilmu modern) hanya bergulat di urusan duniawi semata.
Kedua, kesalahan dalam memandang orang lain. Fitrahnya manusia itu tercipta dari seorang individu/pribadi, dan seterusnya berkembang-biak menjadi makhluk sosial-kebangsaan. “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan perempuan serta menjadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal…” (QS.al-Hujarat, ayat 13). Perintah agar manusia “saling mengenal”, mengandung makna perlunya saling berkasih-sayang, saling memberi, saling melengkapi. Gotong-royong. Hidup dalam suasana kekeluargaan/kolektivisme. Sayang, ajaran ini telah berubah menjadi individual-liberalisme. Golongan ini fanatik buta terhadap keunggulan pribadi, keluarga, golongan, partai, atau kelompok. Orang/pihak lain dianggap sebagai pesaing, mangsa, atau musuh. Tak segan-segan dinihilkan.
Baca Juga: Keberadaan Harun Masiku belum terlacak, KPK pastikan paspor sudah dicabut, ini penjelasan Jubir KPK
Ketiga, perebutan kekuasaan di bidang ekonomi. Kemakmuran, kesejahteraan, dan ketercukupan sandang, pangan, dan papan, merupakan kebutuhan primer setiap orang/keluarga. Penguasaan sumberdaya-alam, menjadi kunci perwujudan kemakmuran tersebut.
Dalam ranah moralitas-religius, penguasaan wilayah, tanah-air, hingga sumberdaya-alam itu, dibolehkan, selagi pengelolaannya bijak. Kesuburan, keseimbangan alam, dan kelestarian lingkungan dijaga. Akan tetapi bagi penganut paham modernisme, khususnya antroposentrisme, demi manusia, maka alam dan manusia lain, boleh dieksploitasi semena-mena, selagi manusia berkuasa. Mereka tak peduli atas kerusakan-kerusakan yang diakibatkan tindakannya.
Keempat, perebutan kekuasaan politik. Politik, sebagai sarana penguasaan terhadap negara, selalu menjadi fokus/perhatian utama setiap kepemimpinan. Pemimpin yang alim/bijak, selalu berbuat demi rakyat/umat yang dipimpinnya. Sebaiknya, pemimpin dzalim/korup, tak segan-segan berbuat aniaya terhadap umat/rakyatnya. Bibit-bibit perpecahan suatu bangsa, umat/rakyat, selalu tumbuh-berkembang menjadi perpecahan, ketika saat-saat pergantian pimpinan politik tiba. Kekuasaan selalu diartikan sebagai kemenangan, kemuliaan, dan kejayaan. Karenanya, kekuasaan diperebutkan dengan segala macam cara.
Ajaran moralitas-religius ditinggalkan. Pergantian kekuasaan di negeri inipun, sarat dengan pergolakan partai, perpecahan umat/rakyat, hingga dendam berkepanjangan. Kekuasaan pun dikelola secara diskriminatif. Sesama koalisi diberikan fasilitas dan jabatan empuk, sementara di luar koalisi (sebagai pihak terkalahkan) dipinggirkan, didzalimi.
Empat faktor penyebab perpecahan terurai di atas, seluruhnya merupakan pembengkakan dari pro dan kontra atas sesuatu hal, utamanya hal yang dipandang menguasai hajat hidup orang banyak. Kini, di negeri ini, pro dan kontra, telah menihilkan persatuan bangsa dan tanah-air yang dulu (saat Soempah-pemoeda 1928) dijadikan modal menggapai kemerdekaan. Soliditas bangsa dan solidaritas antara kompenen bangsa, amat menurun/rapuh. Bahkan, terasa ringkih, ketika berhadapan dengan etnis/bangsa lain.
Baca Juga: Nadiem Makarim akan diperiksa KPK 7 Agustus terkait kasus ini
Demi persatuan bangsa, kiranya masalah pro dan kontra pengibaran bendara one piece, perlu disikapi dengan bijak. Luruskan niat bahwa pengibaran bendera itu merupakan ekspresi suasana penderitaan rakyat, dan sekaligus peringatan agar oknum-oknum penyelenggara negara bergegas kembali ke jalan yang benar. Basmilah iri-dengki, korupsi, nepotisme, dan kejahatan lainya, dengan ilmu sakral-religius, profetik. Singkat kata, kembali ke Pancasila secara murni dan konsisten, merupakan bukti bahwa bangsa ini merdeka secara substantif-filosofis, dan bukan sekedar merdeka secara fornal belaka.
Walllahu’alam.
* Guru Besar pada Sekolah Pascasarjana UGM