Dari perspektif kultural-religius, wajah merupakan pancaran cahaya jiwa, ekspresi rekam-jejak perbuatan. Dalam ajaran suci, wajah-wajah, terbedakan dalam dua kategori, yakni: (1) wajah hitam, hina-dina, tertunduk karena perbuatan buruknya; dan (2) wajah putih, berseri-seri, karena amal salehnya.
Aneka wajah anak negeri, sebenarnya merupakan cermin jati-dirinya masing-masing. Cara seseorang memosisikan diri dan berperan terhadap keberlangsungan kehidupan berbangsa-bernegara, terlihat pada ekspresi wajah. Ketika nilai-nilai Pancasila, ditempatkan dalam jiwa, maka seluruh organ tubuh akan bergerak, saling berkomunikasi dan bersinergi. Tatapan wajahnya cerah, berseri-seri. Seluruh aktivitas mengalir sebagai realitas indah. Wajah teduh, wajah persahabatan, wajah pengabdian, merupakan cermin kebajikan.
Baca Juga: Ini pentingnya vaksinasi bagi anak menurut dokter, cegah penyakit ini
Layak diingatkan bahwa dibalik ekspresi wajah, rentan terselip kepalsuan. Itulah wajah pendusta. Kedustaan yang tampil melalui pencitraan. Wajah asli, sebagai manifestasi suasana jiwa, baru tersibak pada momen tertentu. Pada momen itulah, orang-orang kaget, terperanjat, geleng-geleng kepala. Ternyata pengamen itu penjahat. Ternyata, penjual martabak itu jualan nikel, batubara, dan emas. Ternyata insinyur itu, ahli tebang pohon.
Jangan remehkan kecerdasan spiritual anak negeri. Mata kepala, boleh-jadi tak melihat. Daun telinga, boleh-jadi tak mendengar. Tetapi, mata-hati tak bisa dibohongi. Pemikiran, sikap, dan perilaku jujur, asli, otentik, selalu hadir sebagai esensi kebaikan, kedamaian, persahabatan. Segala bentuk kebohongan, pasti dilawannya.
Dulu, masyarakat dunia, mengenal anak negeri Indonesia sebagai sosok-sosok berwajah cerah-sumringah. Kini, wajah-wajah itu banyak berubah. Sebagian, menjadi pemarah, penipu, pembohong, dan sejenisnya. Antropolog Koentjoroningrat melabelkan karakter anak negeri sebagai sosok gemar menerabas aturan. Demi kepentingannya, segala cara dihalalkan.
Kita semua berkepentingan agar wajah-wajah hina dan biadab, dapat diubah menjadi wajah-wajah ramah-sumringah. Kebohongan diganti dengan kejujuran. Kekerasan diubah menjadi kedamaian. Untuk itu semua, pembangunan karakter bangsa (national character building), amat penting. Setiap anak negeri, khususnya para pemimpin, wajib peduli dan berkontribusi.
Hemat saya, pembangunan karakter dan perilaku bangsa, akan efektif manakala dilakukan melalui edukasi yang adaptif dan transformatif. Prinsip kepeloporan (ing ngarso sung tulodho), dan falsafah bangsa (Pancasila), dijadikan paradigma pendidikan. Anak negeri, perlu diberi peran strategis, dan dijadikan fokus perhatian.
Reformasi tanpa kendali, berdampak negatif pada aneka wajah anak negeri. Serba misterius. Tak satupun mampu memberi jaminan masa depan bangsa. Hanya ketaqwaan pada-MU, dan wajah cerah-sumringah dari-MU, bangsa ini dapat keluar dari kegelapan, terbimbing ke jalan terang-benderang. Wallahu’alam.*
* Guru Besar pada Sekolah Pascasarjana UGM