HARIAN MERAPI - Mukjizat Nabi Muhammad SAW sangat banyak dan memiliki kekhususan dibandingkan dengan mukjizat Nabi-Nabi yang sebelumnya. Mukjizat Nabi-Nabi sebelumnya dibatasi oleh ruang dan waktu, artinya hanya diperlihatkan kepada umat tertentu dan masa tertentu saja.
Sedangkan mukjizat al-Qur’an bersifat universal dan abadi yakni berlaku untuk semua umat manusia sampai akhir zaman. Karena itulah al-Qur’an dikatakan sebagai mukjizat terbesar dari semua mukjizat-mukjizat yang diberikan Allah SWT kepada para Nabi sebelumnya dan kepada Nabi Muhammad SAW sendiri.
Ayat-ayat Al-Qur’an sendiri mampu membuat orang memeluk agama islam setelah mendengarkan lantunannya, seperti yang dialami oleh Umar bin Khattab RA.
Baca Juga: Kemenparekraf kembangkan industri Boardgame di Kota Yogya
Mukjizat-mukjizat para Nabi dan Rasul terdahulu berupa mukjizat materi bersifat inderawi, tetapi
mukjizat Nabi Muhammad SAW berupa mukjizat ruhiyah yang bersifat rasional, kekal sepanjang masa, yaitu al-Qur’an al-Karim sebagai mukjizat terbesar di antara mukjizat-mukjizat yang diberikan kepadanya.
Begitu pula mukjizat-mukjizat yang diberikan kepada para Nabi dan Rasul sebelumnya, tidak nampak lagi fisik dan bekasnya, kecuali kisahnya saja yang dapat diketahui melalui pemberitaan al-Qur’an sebagai mukjizat terbesar Nabi Muhammad SAW.
Mukjizat Al-Quran bagi seorang muslim diyakini merupakan Kitab Suci yang paling terpelihara keasliannya, sebagaimana firman-Nya: “Kami telah menurunkan Al-Qur’an dan Kami pulalah yang akan memeliharanya.” (QS. Al-Hijr; 15:9).
Kata Qur’an digunakan sebagai nama Kitab Suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang berfungsi sebagai hudan, artinya petunjuk bagi kehidupan manusia dalam mengarungi hidup ini (QS. Al-Baqarah; 2:2) dan sebagai furqan, artinya pembeda antara yang baik dengan yang buruk, yang halal dengan yang haram, yang salah dengan yang benar, yang indah dengan yang jelek, dan yang dapat dilakukan dengan yang dilarang (QS. Al-Baqarah; 2:185).
Baca Juga: Pendaftaran CASN diperpanjang, dua formasi ini belum ada pendaftar
Sedangkan secara istilah, Al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW dengan perantaraan Malaikat Jibril dalam bahasa Arab untuk menjadi petunjuk
bagi manusia sepanjang masa.
Perlu difahami bagi orang-orang yang beriman, bahwa untuk membaca Kitab Suci Al-Qur’an itu ada etika-etikanya. Orang yang mengabaikan etika-etika ini, tidak memeliharanya dengan baik, belum bisa dikategorikan sempurna bacaannya. Akan tetapi bacaannyapun tetap bermanfaat dan tidak sia-sia dalam arti tetap berpahala di sisi Allah, meskipun kurang sempurna.
Salah satu dari etika itu adalah orang yang membaca Kitab Suci Al-Qur’an adalah bersifat
ikhlas kepada Allah SWT serta mengharapkan keridhaan-Nya. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), ikhlas berarti bersih hati atau tulus hati. Dalam ajaran Islam, ikhlas adalah roh dari suatu amal perbuatan.
Akhlakul karimah yang berupa ikhlas ialah buah dari ihsan yaitu suatu keyakinan seseorang bahwa yang kita lakukan diketahui dan dilihat oleh Allah SWT.
Baca Juga: Fenomena unik Pilkada DKI, paslon elektabilitas tinggi berpotensi kalah, ini sebabnya menurut analis
Adapun etika yang berikutnya adalah khusu’ saat membaca Al-Qur’an. Firman Allah SWT:
“Katakanlah: ‘Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah).
Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila al-Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, (QS. 17:107) dan mereka berkata: ‘Mahasuci Rabb kami; sesungguhnya janji Rabb kami pasti dipenuhi.’ (QS. 17:108) Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’. (QS. 17:109)” (al-Isra’; 17:107-109).