Menurut Kartini Kartono, apabila keluarga menjadi berantakan disebabkan oleh perceraian
atau salah satu orang tua kabur, dan hidup bersama secara tidak sah dengan partner baru, ataupun bercerai dan kawin lagi, maka muncullah runtutan kesulitan, khususnya bagi anak-anak.
Pertikaian-pertikaian antara ayah dan ibu itu mengacaukan hati anak-anak, bahkan sering membuat mereka sangat sedih dan panik. Mereka selalu didera oleh perasaan kerinduan dan dendam-benci terhadap orang tuanya. Anak terpaksa harus memilih satu pihak, biasanya dengan rasa berat hati, dipaksa harus mengikuti ayah atau ibunya, berpisah dengan anggota keluarga lainnya.
Akibat lanjutan yang muncul adalah pecahnya harmoni keluarga. Anak-anak dan remaja
mulai banyak mengalami kekalutan batin. Timbullah rasa tidak aman secara emosional (emotional
insecurity).
Batin mereka sangat menderita dan tertekan oleh segala ulah orang tuanya yang dianggap
tidak mapan dan tidak dewasa itu. Muncul rasa ikut bersalah dan berdosa, kecewa, dan menyesali diri.
Semuanya menimbulkan kepedihan dan kesengsaraan batin yang hebat. Terjadilah banyak konflik
batin yang serius, sehingga mereka itu pada umumnya menjadi pasien penderita kekalutan mental, dengan satu atau dua ciri penyimpangan yang khas.Tidak sedikit di antara mereka kemudian melakukan berbagai perilaku agresif.
Keluarga yang tidak berfungsi menuju pada keadaan keluarga tetap utuh (intake), terdiri dari
kedua orang tua dan anak-anaknya. Mereka masih tetap hidup dalam satu rumah, artinya strukturnya tidak mengalami perubahan. Hanya fungsinya yang tidak dapat berjalan. Faktor fungsi keluarga ini menjadi bagian yang lebih penting daripada perceraian dan perpisahan.
Menurut Hurlock, berbagai penelitian menunjukkan bahwa keluarga yang utuh tetapi tidak fungsional lebih berakibat buruk pada anak.
Selanjutnya dijelaskan bahwa perlakuan orang tua terhadap anak berkaitan dengan apa yang
dilakukan orang tua atau anggota keluarga lain kepada anak. Apakah anak dibiarkan (neglect),
diperlakukan secara kasar (violence), atau dimanfaatkan secara salah (abuse), atau diperlakukan
secara penuh toleransi dan menciptakan iklim yang sehat.
Semuanya mempengaruhi perkembangan anak, dan mungkin juga berpengaruh pada anggota keluarga secara keseluruhan. Tindakan keluarga yang membiarkan anak, diperlakukan secara kasar, atau diperlakukan yang semestinya tidak perlu, akan mempengaruhi perkembangan mental anak.
Adanya perbedaan atau jurang pemisah antar generasi (generation gap) antara generasi anak
dengan orang tuanya dapat terlihat dalam bentuk hubungan komunikasi yang semakin minimal dan seringkali tidak“connect”.
Kegagalan komunikasi antara orang tua dan anak diyakini sebagai salah satu penyebab timbulnya perilaku agresif pada anak. Anak yang menganggap orang tuanya “jadul” atau kuno dan orang tua yang menganggap anaknya “sulit diatur”, merupakan contoh sumber kesenjangan di antara mereka. *
Penulis: Dr. H. Khamim Zarkasih Putro, M. Si.
Dosen Psikologi Pendidikan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Ketua Dewan Pendidikan Kota Yogyakarta
Penasihat Paguyuban Keluarga Sakinah Teladan (KST) Provinsi DIY