HARIAN MERAPI - Teori belajar sosial menekankan pentingnya pengamatan, perilaku model, sikap dan reaksi emosional lainnya. Albert Bandura menegaskan bahwa belajar sesungguhnya bukan merupakan suatu perbuatan yang mudah, kalau tidak dapat dikatakan sesuatu yang sulit, jika anak-anak dan remaja semata-mata menyandarkan diri atas tindakan mereka terhadap apa yang dimilikinya.
Pada umumnya perilaku individu dipelajari secara observasional melalui model yakni mengamati bagaimana suatu perilaku baru dibentuk, dan peristiwa ini kemudian menjadi informasi
penting yang mengarahkan perilaku anak-anak dan remaja.
Asumsi dasar dari teori dan penelitian-penelitian belajar observasional adalah sebagian besar perilaku individu diperoleh sebagai hasil belajar melalui pengamatan atas perilaku yang ditampilkan oleh individu-individu lain yang menjadi model.
Baca Juga: Bunda Indah Amperawati Siap Bangun Lumajang dengan Konsep Kepemimpinan yang Manusiawi dan Mengayomi!
Albert Bandura menjelaskan bahwa belajar observasional mencakup empat proses, yaitu
proses atensional, ritensi, reproduksi, dan motivasional. Motivasi individu untuk menyontoh perilakui yang ditampilkan oleh model menjadi lebih kuat apabila model memiliki daya tarik dan perilaku yang dilakukannya tidak memperoleh efek negatif.
Sebaliknya, individu akan kurang termotivasi untuk meniru perilaku model apabila model tidak memiliki daya tarik dan memperoleh respon negatif.
Carlson mengungkapkan bahwa remaja laki-laki yang menyaksikan kekerasan domestik, secara
signifikan cenderung membenarkan penggunaan kekerasan dibanding remaja perempuan yang juga mengalami kekerasan domestik.
Teori belajar sosial--sebagaimana teori-teori agresi dan kekerasan yang lain--juga menunjukkan kelemahan dalam menerangkan perilaku kekerasan anak-anak dan remaja.
Baca Juga: Sambung Rasa di Sumberrahayu, Bupati Sleman Dorong Pelaku UMKM Kuasai Digital
Kritik terhadap teori ini terutama dalam hal keterbatasannya dalam menjelaskan perilaku kekerasan yang disebabkan oleh perbedaan-perbedaan individual, seperti faktor kepribadian dan perbedaan kemampuan belajar.
Seperti dinyatakan oleh Gottfredson dan Hirschi bahwa tidak semua orang yang menyaksikan atau mengamati atau mengalami secara langsung perilaku kekerasan melakukan agresi
balik dan tindak kekerasan.
Hal ini dimungkinkan karena adanya perbedaan-perbedaan individual dalam menghadapi perilaku kekerasan seperti kemampuan mengendalikan diri dan konsep diri negatif.
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa individu yang menyaksikan dan mengalami perlakuan
agresi secara berulang-ulang akan memperoleh dan membentuk skema agresi secara konsisten.
Baca Juga: Anda rindu mendaki Gunung Semeru? Bersiaplah, pendakian segera dibuka
Skema kognitif ini terbentuk melalui proses belajar yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan termasuk pola asuh orang tua, interaksi antar teman sebaya, konsep diri, dan kontrol dirinya.