Jadi, skema kognitif yang telah terbentuk ini menjadi sumber dan berpengaruh terhadap perilaku agresif yang terjadi di kalangan remaja. Mereka akan meniru apa saja yang dilhatnya dalam lingkungan sosialnya, tanpa mempertimbangkan lagi apakah yang dikerjakannya itu membahayakan dirinya dan orang lain ataukah tidak.
Pada perkembangan berikutnya, belajar perilaku melalui model tidak hanya yang langsung di
mata penontonnya. Melalui media massa hal itu juga bisa dilakukan, misalnya melalui televisi, dan
media sosial yang lain.
Tayangan-tayangan yang penuh dengan kekerasan tampaknya menjadi salah satu hal yang memicu agresivitas. Sebuah penelitian di Indonesia terhadap 150 pelajar yang dilakukan
oleh Widyastuti mengungkapkan bahwa jenis film tertentu memperlihatkan efek yang signifikan
terhadap agresivitas penonton.
Temuan ini diperkuat oleh penelitian dari Badingah yang mengungkapkan adanya kaitan antara pola asuh, tingkah laku agresif orang tua, dan kegemaran remaja menonton film keras dengan tingkah laku anak-anak dan remaja.
Realitas menunjukkan bahwa anak yang ditolak teman seusianya menunjukkan tingkat perilaku agresif yang tinggi baik secara verbal maupun fisik pada teman seusianya. Tanda-tanda ini
terus meningkat sepanjang bertambahnya usia.
Anak yang ditolak menurut Asher dan kawan-kawan lebih merasa kesepian serta mengalami depresi yang lebih parah. Tingkat rasa tertekan yang lebih tinggi memiliki hubungan yang lebih kuat dengan persepsi negatif dan reaksi kognitif-emosional yang lebih negatif pada anak. Oleh karena itu menjadi tugas dari semua fihak untuk mencarikan teman yang terbaik untuk anak-anak dan remaja di dalam pergaulan sosialnya. *
Penulis: Dr. H. Khamim Zarkasih Putro, M. Si.
Dosen Psikologi Pendidikan FITK UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Ketua Dewan Pendidikan Kota Yogyakarta
Ketua Forum Komunikasi Pengurus Dewan Pendidikan Kabupatan/Kota Se-DIY