OKNUM juru parkir (jukir) ini banyak ulah, sehingga harus berurusan dengan polisi. Sang jukir, RW (28) warga Glagah Umbulharjo Yogya, mengacung-acungkan senjata tajam ketika ditegur warga karena menggeber-geberkan knalpot. Ketika dikejar, RW bukannya menyerah, malah mengambil tombak dari rumah dan kembali ke tempat saat ia ditegur.
Namun belum sampai lokasi, pelaku sudah diringkus warga. Selanjutnya pelaku diserahkan kepada polisi guna mempertanggungjawabkan perbuatannya. Meski RW belum menggunakan senjatanya untuk melukai orang lain, namun telah masuk delik, sehingga polisi memprosesnya dengan UU Darurat No 12 Tahun 1951 dengan ancaman maksimal 10 tahun penjara.
Peristiwa yang terjadi Selasa pekan lalu di Kampung Glagah Warungboto itu tentu menjadi pelajaran berharga, bukan hanya bagi RW, tapi juga siapapun yang membawa senjata tajam di tempat umum.
Baca Juga: Anda masih kesulitan mengolah daging supaya empuk? Lakukan langkah berikut ini
Boleh saja RW berdalih bahwa senjata tersebut hanya untuk menakut-nakuti. Tapi, siapa yang menjamin bahwa senjata itu tak digunakan untuk melukai orang lain ? Apalagi, sebelumnya RW menantang orang yang memperingatkannya di jalan saat menggeber knalpot motor.
Kita patut mengapresiasi tindakan tegas aparat kepolisian yang meringkus RW dan memprosesnya secara hukum. Proses hukum ini diperlukan sebagai pembelajaran bagi siapapun agar tidak semena-mena membawa senjata tajam, apalagi dimaksudkan untuk melukai orang lain.
Tentu kasusnya akan berbeda bila yang membawa senjata tajam adalah petani yang kesehariannya selalu membawa senjata tajam arit, misalnya. Senjata tersebut dibawa sebagai kelengkapan kerja, untuk membabat rumput dan sebagainya.
Sedangkan RW membawa senjata tajam, meski mengambilnya dari rumah, dengan maksud buruk, yakni menantang seseorang yang telah memperingatkannya saat dirinya menggeber knalpot motor. Memang tidak semua juru parkir kelakuannya seperti RW yang gampang emosi ketika ditegur. Banyak juru parkir yang berperilaku baik dan tidak emosian.
Kiranya, untuk kasus RW, polisi tak perlu menerapkan diskresi atau kebijakan yang mengarah restorative justice, mengingat ancaman hukumannya cukup berat, yakni 10 tahun penjara. Lebih baik proses hingga berkasnya disidangkan di pengadilan. Hakim-lah nanti yang memutus apakah terdakwa mendapat keringanan hukuman atau malah sebaliknya.
Pelajaran bagi para jukir, janganlah banyak ulah, apalagi mengacung-acungkan senjata segala. Bila berhadapan dengan masyarakat, pada akhirnya juga akan kalah, malah berakhir di penjara. (Hudono)