Widya mencari pijakan antara akar dan batu, tangannya berusaha menggapai apapun untuk menahan beban tubuhnya.
Jalan di Tapak Tilas memang bukan jalan biasa, karena memang tidak pernah ada orang yang mau ke sana.
Baca Juga: KKN di Desa Penari (Versi Widya) Bagian 16 : Pertemuan Widya dengan Mbah Dok, Siapakah Dia?
Sampai di ujung atas Tapak Tilas, Widya melihat jalan setapak di depannya, agak menurun, kelihatannya tidak curam.
Tapi, tetap saja butuh perjuangan melaluinya, dan setiap langkah dijejakkan, berkecamuk perasaan aneh, Widya merinding.
Berbeda dengan lorong masuknya yang berdinding pepohonan besar, setapak menurun itu hanya ditumbuhi semak setinggi bahu di kanan dan kirinya.
Sangat mudah mengikuti Bima, karena Widya hanya tinggal mengikuti setapak itu. Tapi, setiap langkah, selalu diiringi suara semak yang disibak.
Seperti ada yang bergerak, tapi ketika dilihat, hilang begitu saja.
Jalan seperti tak berujung, beberapa kali Widya berhenti sekadar menghela nafas, mau kembali? Rasanya tidak!
Kembali pun percuma karena Widya tidak akan tahu apa yang dikerjakan Bima jauh di dalam tempat paling terlarang itu.
Sendiri, tanpa persiapan, tapi Widya tetap harus melakukannya. Dan tiba-tiba, sayup kembali terdengar bunyi gamelan.
Arahnya di ujung bawah jalan setapak itu.
Nadanya familiar, ya, sebuah kidung Jawa, kidung yang didengar ketika Widya di bilik mandi bersama Nur.
Tidak hanya gending, Widya pun seperti melihat ada penari, persis sosoknya dengan yang ia lihat menari di malam hajatan gaib yang ia datangi bersama Wahyu.