Ribuan Burung Pipit Mati. Pertanda Kita Harus Pelihara Lingkungan dengan Baik

photo author
- Kamis, 23 September 2021 | 17:05 WIB
Tangkapan layar video temuan bangkai burung pipit di area makam daerah Gianyar, Bali, Jumat (10/09/2021).  (ANTARA/HO-BKSDA Bali. (Ayu Khania Pranisitha))
Tangkapan layar video temuan bangkai burung pipit di area makam daerah Gianyar, Bali, Jumat (10/09/2021). (ANTARA/HO-BKSDA Bali. (Ayu Khania Pranisitha))

Baca Juga: Mengaku Kehilangan Ponsel, Ternyata DM Malah Ketahuan Sebagai Pelaku Pencabulan

"Untuk itu, perlu dilakukan riset lebih lanjut untuk mengungkap penyebab kematian ribuan burung pipit secara ilmiah. Salah satu penelitian yang penting untuk dilakukan adalah meneliti peran burung sebagai bioindikator," katanya.

Penelitian tersebut hendaknya dilakukan dengan melibatkan berbagai bidang keahlian secara sinergi dan terpadu seperti ornitologi (ahli burung), veteriner, klimatologi (ahli cuaca dan iklim), kimia lingkungan, toksikologi (ahli racun) dan bidang lain yang sesuai.

Dengan demikian, diharapkan hasilnya akan mengungkap secara lebih akurat penyebab kematian burung pipit tersebut.

Baca Juga: Ekonomi Indonesia Tumbuh 3,1 Persen Hingga Agustus 2021. Menkeu : Kami Berharap Triwulan III Bisa Cukup Baik

Bioindikator memainkan peran yang penting untuk memberikan informasi terkait dampak dari akumulasi polutan dalam suatu ekosistem dan lama masalah tersebut telah muncul.

Berdasarkan Wikipedia, bioindikator merupakan setiap spesies atau sekelompok spesies yang fungsi, populasi, atau statusnya dapat mengungkapkan status kualitatif lingkungan karena keberadaan atau perilakunya sangat berhubungan dengan kondisi lingkungan tertentu sehingga dapat digunakan sebagai suatu petunjuk.

Copepoda dan krustasea air kecil lainnya yang terdapat di berbagai perairan dapat dipantau untuk mengetahui perubahan biokimia, fisiologis, atau perilaku yang mungkin mengindikasikan masalah dalam ekosistem mereka.

Baca Juga: Selebgram Berinisial DM Dipanggil Polisi, Karena Diduga Terlibat Kasus Penipuan Investasi Bodong

Menurut Dewi yang juga merupakan penemu spesies burung Myzomela Irianae dari Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, hingga saat ini di Indonesia penelitian mengenai burung sebagai bioindikator lingkungan belum mendapat perhatian atau bisa disebut sangat langka.

Penelitian yang tercatat pernah dilakukan adalah kandungan merkuri pada bulu burung liar. Pada 1997, J Burges dan M Goschfeld telah melaporkan hasil penelitian konsentrasi logam berat merkuri dan mangan pada bulu tiga jenis burung air dari Bali dan Sulawesi dalam jurnal Archives of Environmental Contamination and Toxicology. Ketiga jenis burung air yang diteliti tersebut adalah kuntul kerbau (Bubulcus ibis), kuntul perak (Egretta intermedia) dan kuntul kecil (Egretta garzetta).

Kemudian, R Utina dan AS Katili pada 2014 mempublikasikan hasil analisis residu merkuri pada organ tubuh dan bulu empat jenis burung air yang mencari makan dipantai utara Gorontalo, Sulawesi Utara dalam International Journal of Waste Resources.

Baca Juga: Hindari Ritual yang Bahayakan Keselamatan

Keempat jenis burung air tersebut terdiri dari kokokan laut (Butorides striatus), trinil kaki kuning (Tringa flavipes), trinil pantai (Actitis hypoleucos) dan cerek besar (Pluvialis squatarola).

Penelitian terbaru kandungan merkuri pada bulu burung ordo Passeriformes dilaporkan oleh S Dzieski, DM Prawiradilaga dan R Rozavi dalam konferensi ahli burung di Amerika Utara (North American Ornithologists’ Conference) pada 2020.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Widyo Suprayogi

Sumber: Antara

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

KPK OTT Bupati Bekasi Ade Kuswara Kunang

Jumat, 19 Desember 2025 | 06:00 WIB
X