Burung ordo Passeriformes tersebut berasal dari Pulau Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Adapun jenis burungnya terdiri dari rajaudang meninting (Alcedo meninting), rajaudang punggung merah (Ceyx rufidorsus), kehicap ranting (Hypothymis azurea), pelanduk Buettikofer (Pellorneum buettikoferi), pelanduk topihitam (Pellorneum capistratum), tukik tikus (Sasia abnormis) dan burung madu kelapa (Anthreptes malaccensis).
Baca Juga: Pengelola Pinus Sari Mangunan Bantul Perkuat Jaringan Internet
Sementara itu, peneliti BRIN Muhammad Reza Cordova dan Triyoni Purbonegoro dalam risetnya terkait Konsep Bioindikator Untuk Penanda Degradasi Lingkungan Di Indonesia, mengatakan, dalam kegiatan pemantauan lingkungan dan upaya mengetahui tingkat pencemaran suatu lingkungan, pengaruh toksisitas suatu polutan terhadap organisme dan ekosistem dapat diketahui dari bioindikator.
Biota biasanya memiliki sensitivitas terhadap kondisi ekosistem sehingga bisa berperan sebagai bioindikator atau indikator biologi yang dapat mencerminkan kualitas suatu ekosistem atau lingkungan dengan mudah.
Beberapa jenis ikan dan moluska, ekinodermata, krustase dan cacing umum digunakan sebagai bioindikator.
Baca Juga: 6 Tips Sukses Menjadi Konten Kreator, Tawaran Penghasilan yang Menggiurkan
Bioindikator akan menyediakan informasi penting tentang jumlah bahan pencemar yang terakumulasi dalam organisme dan pengaruh yang ditimbulkannya.
Dengan demikian, bioindikator dapat merefleksikan kondisi lokal suatu ekosistem atau kondisi lingkungan termasuk jika terjadi degradasi lingkungan sehingga dapat menjadi indikator kualitas lingkungan.
Sesungguhnya, masih banyak penelitian yang harus dilakukan untuk menjaga kesehatan lingkungan dengan memanfaatkan keberadaan biota termasuk burung liar seperti burung pipit menjadi bioindikator.
Fenomena kematian massal burung pipit di Kabupaten Gianyar di Bali, dan Kota Cirebon di Jawa Barat itu diharapkan bisa menjadi pemicu bagi semua pihak untuk meningkatkan perhatian dan memelihara lingkungan dengan dengan baik.*