JOGJA, harianmerapi.com - Mahasiswa Magister Hukum Universitas Islam Indonesia, Halimah Ginting SH menilai tujuan otonomi daerah dapat meningkatkan pelayanan publik dan memajukan perekonomian daerah. Dengan lahirnya otonomi daerah tersebut, DIY ajukan UU Keistimewaan.
"UU Keistimewaan tersebut bertujuan mewujudkan kesejahteraan dan ketentraman masyarakat," ujar Halimah dalam diskusi publik dengan tema "Bagaimana Kedudukan Tanah Negara, Sultan Ground dan Pakualaman Ground terkait Otonomi Daerah ditinjau dari UU Keistimewaan DIY dan Hukum Agraria" di Hotel Cavinton Jogja, Jumat (29/7/2022).
Dalam diskusi publik tersebut selain Halimah juga hadir sebagai pembicara Peneliti Forum Komunikasi Masyarakat Agraris, Kus Sri Antoro SP MSi dan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) DIY, Drs Hudono SH.
Disebutkan Halimah, dalam UU Pokok Agraria tanah hak milik akan terhapus menjadi tanah negara apabila ditelantarkan. Selain itu dalam UU Keistimewaan Nomer 13 Tahun 2012 tidak ada satu pasalpun menerangkan tanah negara dapat menjadi tanah Sultan Ground (SG) dan Paku Alaman Ground (PAG).
Dalam UU Keistimewaan DIY tersebut hanya mengatur tanah SG maupun PAG. Sehingga, tidak bisa secara otomatis tanah kosong atau telantar akan menjadi tanah SG atau PAG. "Lalu dasarnya dari mana," jelas Halimah.
Meskipun setelah lahirnya UU Keistimewaan, pihak Kraton maupun Paku Alaman menginventarisir tanah SG dan PAG. Sehingga tanah-tanah bukan hak milik yang tidak masuk dalam SG maupun PAG diatur dalam UU Pokok Agraria.
Sementara Kus Sri Antoro lebih menyoroti soal implementation UU Keistimewaan soal pertanahan. Salah satu yang menjadi persoalan adalah asal usul yang dijadikan SG dan PAG, bagiamana cara memperolehnya tanah tersebut.
Karena untuk memanfaatkan tanah SG dan PAG masyarakat atau institusi harus memiliki surat kekancingan. Hak pakai di atas tanah Kasultanan dan Paku Alaman harus ada kekancingan. Sehingga keberadaan tanah SG dan PAG dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat.
Sehingga dalam UU Keistimewaan melarang kasultanan dan kadipaten melakukan praktik feodalisme dan kolonialisme.
Baca Juga: Kepesertaan BPJS Kesehatan Jadi Syarat Layanan Pertanahan, DPR: Batalkan, Karena Sewenang-wenang
"Saat ini tidak boleh ada praktik feodalisme dan kolonialisme," terang Kus.