harianmerapi.com - Menurut beberapa sejarah, Raden Rahmat atau Sunan Ampel mempunyai dua istri. Yang pertama adalah Dewi Condrowati atau Nyai Ageng Manila binti Aryo Tejo Al-Abbasyi.
Ia merupakan putri dari adipati Tuban, Arya Teja. Sedang istri kedua adalah Dewi Karimah binti Ki Kembang Kuning.
Dari pernikahan yang pertama, lahir putra dan putri, Maulana Makhdum Ibarahim yang juga dikenal dengan nama Raden Mahdum Ibrahim atau Sunan Bonang atau Bong Ang.
Baca Juga: Sunan Ampel 1: Sebelum ke Majapahit Singgah di Palembang dan Tuban untuk Menyebarkan Agama Islam
Kemudian Raden Qasim atau Syurifuddin yang tak lain adalah Sunan Derajat, Siti Syari’ah atau Nyai Ageng Maloka/Nyai Ageng Manyuran, Siti Mutma’innah dan Siti Hafsah.
Sedang pernikahan yang kedua dengan Dewi Karomah binti Ki Kembang Kuning, lahir putra-putri Dewi Murtasiyah (istri dari Sunan Giri),
Dewi Murtasimah (istri Raden Fattah), Raden Husamuddin (Sunan Lamongan), Raden Zaenal Abidin (Sunan Demak), Pangeran Tumapel dan Raden Faqih (Sunan Ampel 2).
Tentang metode dakwah yang dilakukan Sunan Ampel, sangatlah berbeda dengan wali yang lain.
Metode dakwah tersebut, jika dengan masyarakat kelas menengeh ke bawah dilakukan dengan pembaruan dan pendekatan, sedang saat menghdapai orang-orang cerdik pandau lewat pendekatakan intelektual dan penalaran logis.
Baca Juga: Sunan Ampel 2: Menyusul Kakak yang Jadi Istri Raja Majapahit dan Menetap di Pesisir Ampelgading
Pada umumnya para wali lain menggunakan metode dakwah pendekatan seni dan Budaya. Tapi Sunan Ampel lebih memilih menggunakan pendekatan intelektual, dengaan memberikan pemahaman wacana intelektual dan diskusi cerdas, kritis dan di terima akal manusia.
Menurut pandangan Sunan Ampel, pendekatan kultur budaya dinilai lebih releven pada kalangan masyarakat kelas menengah.
Sedang untuk kalangan intelektual kelas atas, lebih tepat dengen menggunakan jalur yang di tempuh Sunan Ampel.
Meski terlihat tersekat-sekat antara masyarakat kelas atas dan bawah, tapi tetap bisa tercapai karena beliau merupakan da’i yang mempertaruhkan hidupnya untuk mengayomi umat.
Kecuali itu, Sunan Ampel tetap independen dan konsisten dengan posisinya sebagai ulama. Beliau tidak pernah menggunakan alat atau media apapun sebagai kendaraan dakwahnya dan inilah keunikan metode dakwah dari Sunan Ampel. Selain itu metode dakwahnya dikenal dengan istilah “Moh Limo”.