Misalnya di Kalimantan dan Sumatera, banyak jalan yang terputus karena harus melewati kawasan hutan. Sementara ada lebih dari 34 ribu desa berada di kawasan hutan dan sekitarnya.
Kalau konsepnya tidak ada deforestasi, berarti tidak boleh ada jalan, lalu bagaimana dengan masyarakatnya, apakah mereka harus terisolasi? Sementara negara harus benar-benar hadir di tengah rakyatnya.
Inilah yang saya sampaikan saat memenuhi undangan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di Universitas Glasgow, kemarin (2/11/2021).
Jadi kita harus hati-hati, karena disitu ada persoalan cara hidup, gaya hidup termasuk misalnya tentang definisi rumah huni menurut masyarakat Indonesia dengan halaman rumah dan sebagainya yang berbeda dengan konsep rumah huni menurut kondisi di Eropa, Afrika, dan lainnya.
Jadi harus ada compatibilty dalam hal metodologi bila akan dilakukan penilaian. Oleh karenanya pada konteks seperti ini jangan bicara sumir dan harus lebih detil. Bila perlu harus sangat rinci.
Saya juga perlu memberikan gambaran tentang tingkat kemajuan pembangunan suatu negara. Beberapa negara maju sudah selesai membangun sejak tahun 1979-an.
Selebihnya mereka tinggal menikmati hasil pembangunan. Artinya sampai dengan sekarang sudah lebih dari 70 tahun untuk masuk ke tahun 2050 saat mereka sebut net zero emission. Terus bagaimana Indonesia? Apakah betul kita sudah berada di puncak pembangunan nasional?*