Pada zaman Sultan HB VI di tahun 1867 Masehi, gempa dahsyat mengguncang kawasan Yogyakarta.
Sebagian besar bangunan masjid rusak parah. Serambi masjid bahkan roboh, dan menewaskan penghulu keraton pada zaman itu.
Baca Juga: Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta beratap tumpang tiga, punya makna tiga tingkatan kesempurnaan hidup
Peristiwa gempa bumi tersebut merupakan bukti sejarah, bahwa gempa bumi di Yogyakarta merupakan sebuah siklus zaman.
Karena itu, peristiwa gempa besar yang meruntuhkan serambi Masjid Gedhe Kauman ditandai dengan sengkalan berbunyi Rebahing Gapura Swara Tunggal. Artinya, tahun 1796 Jawa atau 1867 Masehi.
Gempa itu terjadi pada Senin Wage, pukul 05.00 WIB, 7 Sapar Tahun Ehe 1796.
Tak lama setelah bencana gempa besar itu, Sultan HB VI memberikan kagungan dalem surambi munara agung sebagai pengganti serambi masjid yang runtuh akibat gempa tersebut.
Pemasangan serambi munara agung itu ditandai sengkalan Pandita Trus Giri Nata, yang berarti tahun 1797 Jawa atau 1868 Masehi.
Sesudah Sultan HB VI digantikan Sultan HB VII, pada tahun 1917 Masehi dibangun gedung pajagan atau sebuah pos keamanan.
Pajagan artinya tempat penjagaan dan letaknya di kanan kiri gapura. Sejumlah prajurit keraton bertugas di tempat itu pada setiap hari-hari besar Islam.
Pada zaman perang kemerdekaan RI, pajagan itu pernah digunakan sebagai pusat Markas Asykar Ulama Perang Sabil (MU-APS) yang membantu TNI melawan agresi militer Belanda.
Lalu pada zaman Sultan HB VIII, lantai serambi masjid yang semula terbuat dari batu kali diganti tegel bermotif kembang.
Sultan HB VIII juga mengganti atap masjid yang semula dari sirap dengan seng wiron yang tebal dan lebih kuat.
Pada tahun 1936 itu, Sultan HB VIII juga mengganti lantai dasar masjid yang semula dari batu kali dengan marmer dari Italia.(*)