Serambi masjid itu tidak hanya untuk sholat. Namun, juga difungsikan sebagai tempat pertemuan alim ulama dan pengajian.
Bahkan pada zaman Sultan HB I, serambi masjid itu digunakan pula sebagai tempat pengadilan agama seperti pernikahan dan perceraian.
Tentu saja, serambi Masjid Gedhe Kauman pada waktu itu juga menjadi tempat berlangsungnya peringatan hari-hari besar keagamaan.
Kemudian, pada tahun yang sama juga dibangun pagongan yang berfungsi sebagai tempat gamelan sekaten.
Pagongan tersebut berada di depan serambi sebelah kanan dan kiri atau utara dan selatan.
Di pagongan inilah tradisi udhik-udhik pada setiap perayaan Grebeg Besar, Mulud dan Syawal dilakukan.
Seiring dengan perkembangannya, masjid jami’ Keraton Yogyakarta diperluas kegiatannya.
Lalu, Sultan HB I membuatkan permukiman bagi para pengurus atau takmir masjid. Kepengurusan masjid dipegang seorang abdi dalem penghulu.
Dalam pelaksanaan tugas-tugasnya, penghulu keraton dibantu oleh abdi dalem ketib, modin, marbot, dan pamethakan, serta abdi dalem kaji selusinan dan barjamangah.
Sebagian dari para abdi dalem itu dibuatkan rumah di sekitar masjid, sehingga tempat tersebut kemudian disebut Pakauman.
Sesudah berkembang menjadi permukiman atau perkampungan, tempat itu kemudian menjadi kampung Kauman.
Jauh sesudah pergantian raja, pada tahun 1840 Masehi Sultan HB VI melengkapi lagi bangunan masjid itu dengan regol atau pintu gerbang yang disebut gapura.
Pembangunan gapura itu ditandai dengan sengkalan Pandhita Nenem Sabdo Tunggal, yang berarti tahun 1767 Jawa atau 1840 Masehi.