HARIAN MERAPI - Di bulan Syaban ini sejumlah masyarakat di banyak daerah kembali mengggelar tradisi nyadran, sadranan, atau ruwahan.
Tradisi nyadran, sadranan, atau ruwahan di bulan Syaban ini tak kecuali juga digelar oleh masyarakat Padukuhan Jlopo, Pondokrejo, Tempel, Sleman, Yogyakarta.
Masyarakat di Padukuhan Jlopo menggelar tradisi nyadran, sadranan atau ruwahan di bulan Syaban pada Minggu pagi (9/2/2025).
Seperti yang sudah mentradisi sejak nenek moyang, tradisi nyadran masyarakat Padukuhan Jlopo berlangsung meriah dengan pembagian nasi berkat.
Ratusan lebih nasi berkat dikemas dengan keranjang, merupakan simbol sedekah warga bagi siapapun yang datang mengikuti acara tersebut.
Baca Juga: Loman Park Hotel Hadirkan Sasana Jemparingan di Garden Area
Tak hanya warga setempat, puluhan warga dari desa lain pun turut mengikuti tradisi nyadran Padukuhan Jlopo. Mereka datang untuk mendoakan leluhur, yang dimakamkan di makam padukuhan tersebut.
Seperti adat tradisinya, nyadran atau sadranan di Padukuhan Jlopo dilakukan dengan doa tahlil bersama di kompleks makam setempat.
Selain itu, tausiyah keagamaan juga menjadi prosesi inti dari serangkaian acara nyadran bulan Syaban di Padukuhan Jlopo.
KH Agus Achmad Khanafi, Pengasuh Pondok Pesantren Darussalam, Kricakan, Salam, Magelang, memberikan tausiyahnya tentang pentingnya nyadran bagi umat muslim.
Kiai yang karib disapa Gus Mad itu mengungkapkan, bahwa tradisi nyadran ini bisa terlaksana karena rasa cinta dan kasih anak kepada orang tuanya.
Baca Juga: Branding Kota Salatiga, Bangun Kolaborasi Pemerintah dengan Mitra Media
Dia menjelaskan, rasa sayang anak membawanya datang ke makam untuk mendoakan leluhur agar diampuni dosa dan djberikan nikmat kubur, serta dijauhkan dari neraka.
Gus Mad menjelaskan, mengirim doa bagi arwah leluhur ini bisa meringankan beban leluhur yang berada di alam kubur.
Dia menyebut, jika orang yang sudah di alam kubur bagai berada di tengah laut yang luas dan sangat membutuhkan kiriman doa.