internasional

Pandemi sunyi akibat AMR bisa membunuh 10 juta orang pertahunnya pada 2050, begini prediksi WHO

Minggu, 5 Januari 2025 | 10:00 WIB
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Taruna Ikrar (kiri) dan Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin (kanan) dalam pertemuan membahas penguatan kerja sama bidang pengawasan obat dan makanan, di Jakarta, Kamis, (2/1/2025). ( ANTARA/HO - Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM))



HARIAN MERAPI - Resistensi antimikroba (AMR) masih menjadi isu kesehatan di tingkat global yang harus diwaspadai.


Terkait kondisi tersebut, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyarankan perlunya kolaborasi di tingkat global untuk mencegah pandemi sunyi akibat AMR.


BPOM menyebut situasi tersebut akan membunuh 10 juta orang per tahunnya pada 2050, per proyeksi WHO.

Baca Juga: Ramalan cinta zodiak Leo dan Virgo Minggu 5 Januari 2025, hari yang tepat untuk bereksperimen dengan hubungan Anda


Dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Sabtu, Kepala BPOM Taruna Ikrar menyebutkan bahwa AMR dapat menyebabkan pandemi sunyi, sebab angka yang disebutkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tersebut melampaui angka kematian akibat kanker.

Selain itu, kata Taruna, AMR juga dapat mengancam sistem kesehatan global, karena menjadi fenomena biologis kompleks yang mengancam kemampuan manusia dalam mengendalikan mikroorganisme berbahaya. Mengutip data Bank Dunia, pada tahun 2050 diperkirakan kerugian ekonomi global akibat resistansi antimikroba dapat mencapai 100 triliun dolar atau setara dengan hilangnya 3,8 persen produk domestik bruto global.

"Setiap kali satu spesies mikroba menjadi resistan terhadap pengobatan, maka tidak hanya mengancam individu yang terinfeksi tetapi juga menciptakan reservoir genetik potensi bahaya bagi seluruh populasi," katanya dalam penganugerahan gelar ilmuwan berpengaruh di Indonesia dari Universitas Prima Indonesia Medan, Sumatera Utara.

Baca Juga: Cerita misteri peri penunggu pohon gayam 4, ketika lewat dekat pohon gayam kepala dilempar batu

“Negara-negara berkembang akan paling parah terkena dampaknya, dengan potensi jatuhnya jutaan penduduk ke dalam lingkaran kemiskinan akibat biaya pengobatan yang membengkak dan hilangnya produktivitas tenaga kerja,” dia menambahkan.

 

Dia melanjutkan, rumah sakit dan fasilitas kesehatan akan dipaksa harus mengembangkan protokol pengobatan alternatif yang jauh lebih mahal dan kompleks. Selain itu, ujarnya, prosedur medis yang saat ini dianggap rutin seperti operasi caesar, penggantian sendi, atau kemoterapi akan menjadi prosedur berisiko tinggi dengan potensi komplikasi infeksi yang signifikan.

Sementara itu, katanya, di Indonesia, resistansi antimikroba memiliki dimensi kompleks yang dipengaruhi oleh faktor geografis, demografis, dan sistem kesehatan. Sebagai negara dengan kekayaan ekologis dan praktik kesehatan yang beragam, katanya, Indonesia menghadapi tantangan unik dalam mengendalikan penyebaran mikroorganisme resistan.

"Untuk itu, diperlukan strategi nasional yang adaptif, berbasis riset, dan mempertimbangkan konteks lokal," dia menuturkan.

Baca Juga: Legenda makam Sunan Cirebon di Giriloyo Imogiri, konon ada batu yang dilempar dari Arab ke Jawa

Halaman:

Tags

Terkini